MAKALAH MANUSIA SEBAGAI ANIMAL EDUCANDUM
diadaptasi dari buku Uyo Sadulloh
A.
Pendidikan
Hanya untuk Manusia
Manusia sebagai animal educandum,
secara bahasa berarti bahwa manusia merupakan hewan yang dapat dididik dan
harus mendapatkan pendidikan. Secara tidak langsung pengertian tersebut menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan antara manusia dengan hewan. Perbedaan manusia dengan
hewan adalah manusia dapat dididik dan harus mendapatkan pendidikan agar dapat
membedakan yang baik dan benar, sedangkan hewan tidak dapat membedakan
perbuatan baik ataupun buruk.
Seringkali dalam dunia hewan terjadi gejala-gejala
aneh yang kadang-kadang bertentangan dengan alam pikiran manusia, meskipun pada
hewan misalnya laba-laba betina memakan jantannya ketika hampir masanya ia
bertelur untuk menjaga anaknya dari bahaya. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa
pada binatang menyusui misalnya kucing atau anjing memiliki banyak persamaan dengan manusia
dalam hal membesarkan atau memelihara anaknya, namun hanya manusialah yang
memerlukan pendidikan bukan hewan.
1. Manusia dan Hewan
3
|
Beberapa ekor binatang memang dapat dilatih untuk melakukan gerakan-gerakan
tertentu secara terus menerus atau mengenal tanda-tanda, namun hal itu hanyalah
terjadi secara mekanis tanpa melibatkan proses berpikir. Hasil berpikir secara
intelektual melibatkan simbol-simbol misalnya bahasa hanya dapat dilakukan oleh
manusia namun tidak dapat dilakukan oleh hewan karena hewan hanya dapat
menerima sinyal, tidak sampai pada bahasa sebagai simbol. Meskipun lumba-lumba
dapat menebak hasil perkalian suatu anagka, kerbau dilatih menarik bajak, atau
anjing yang dapat melacak keberadaan narkoba, namun hal-hal tersebut tidak
dapat dikatakan bahwa hewan dapat dididik.
Pendidikan pada hakikatnya akan berusaha untuk mengubah perilaku. Namun
tidak semua perilaku dapat tersentuh oleh pendidikan karena hewan pun merupakan
makhluk yang berperilaku. Prof. Khonstam mengemukakan beberapa lapisan perilaku
dari perilaku makhluk hidup di jagat raya sebagai berikut :
a.
Perilaku anorganis adalah suatu gerakan yang terjadi
pada benda-benda mati misalnya adanya gaya gravitasi bumi.
b.
Perilaku nabati (vegetatif) adalah perilaku yang
terjadi pada tumbuh-tumbuhan misalnya proses pernapasan pada tumbuhan.
c.
Perilaku hewani adalah perilaku yang bersifat
instingtif misalnya lapar dan ingin mempertahankan diri.
d.
Perilaku insane (manusiawi) merupaka perilaku yang
hanya dimiliki oleh manusia yang terdiri dari :
-
Manusia berkemampuan untuk menguasai hawa nafsu.
-
Manusia memiliki kesadaran intelektual, ia dapat
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, menjadikan manusia makhluk
berbudaya.
-
Manusia memiliki kesadaran diri, dapat menyadari
sifat-sifat yang ada pada dirinya, manusia dapat mengadakan introspeksi.
-
Manusia adalah makhluk sosial, membutuhkan orang lain
untuk hidup bersama-sama, berorganisasi dan bernegara.
-
Manusia memiliki bahasa simbolis, baik tertulis maupun
secara lisan.
-
Manusia dapat menyadari nilai-nilai (etika maupun
estetika) dan dapat berbuat sesuai nilai-nilai tersebut, dan memiliki kata
hati.
e.
Perilaku mutlak adalah perilaku yang memungkinkan
manusia dapat menghayati kehidupan beragama sehingga dapat berkomunikasi dengan
Tuhan.
Maka jelaslah bahwa hewan tidak dapat dididik dan tidak memungkinkan untuk
menerima pendidikan, sehingga tidak mungkin dapat dilibatkan dalam proses
pendidikan. Hanyaa manusialah yang dapat dididik dan memungkinkan dapat
menerima pendidikan, karena manusia memiliki akal budi.
2. Mengapa Manusia Harus Dididik
Beberapa
asumsi yang memungkinkan manusia harus dididik dan memperoleh pendidikan yaitu:
a. Manusia dilahirkan dalam keadaan
tidak berdaya. Manusia begitu lahir ke dunia, perlu mendapatkan uluran orang
lain (ibu dan ayah) untuk dapat melangsungkan hidup dan kehidupannya.
b. Manusia lahir tidak langsung dewasa,
untuk sampai pada kedewasaan itu sendiri memerlukan proses yang panjang dan
waktu yang lama. Dalam mengarungi kehidupan dewasa, manusia perlu dipersiapkan.
Bekal tersebut dapat diperoleh dengan pendidikan.
c. Manusia (anak
didik) hakikatnya adalah makhluk sosial, ia hidup bersama dengan sesamanya ini
akan terjadi hubungan pengaruh timbal balik dimana setiap individu akan
menerima pengaruh dari individu yang lainnya. Sebab itu, maka sosialitas
mengimplikasikan bahwa manusia akan perlu dididik.
d. Manusia merupakan makhluk yang dapat
dididik, memungkinkan untuk memperoleh pendidikan.
Manusia
merupakan makhluk yang harus dididik, karena manusia lahir dalam keadaan tidak
berdaya, lahir tidak langsung dewasa. Manusia adalah makhluk sosial yang
membutuhkan interaksi dengan sesamanya.
3.
Manusia sebagai Makhluk yang Dapat
Dididik
Manusia
belum selesai menjadi manusia, ia dibebani keharusan untuk menjadi manusia,
tetapi ia tidak dengan sendirinya menjadi manusia, untuk menjadi manusia ia
perlu dididik dan mendidik diri. ”Manusia dapat menjadi manusia hanya
melalui pendidikan”,demikian kesimpulan Immanuel Kant dalam teori
pendidikannya. Peryataan tersebut sejalan dengan hasil studi M.J. Langeveld
yang memberikan identitas kepada manusia dengan sebutan ”Animal Educandum” atau
hewan yang perlu didik dan mendidik diri (M.J.Langeveld, 1980). Langeveld merumuskan bahwa manusia
adalah animal educandum yang artinya
manusia yang perlu dididik, agar ia dapat melaksanakan kehidupannya sebagai
manusia, agar ia dapat melaksanakan tugas hidupnya secara mandiri.
Hubungan antar pendidik dan anak didik
dalam proses mendidik, merupakan hubungan anatar subjek dan subjek sehingga
pendidik tidak melakukan apa saja terhadap anak didik sesuai seleranya. Anak
memiliki inisiatif dan daya kreatif, merupakan manifestasi dari kebebasan yang
secara prinsip telah dimiliki anak bersamaan dengan kelahirannya, sehingga
menyiratkan bahwa manusia atau anak adalah makhluk yang dapat dididik. Anak
berada dalam keadaan perlu bantuan dan memungkinkan pendidik bertindak sebagai
pendidiknya. Inti dari kegiatan pendidikan adalah pemberian bantuan kepada anak
dalam rangka mencapai kedewasaannya. Pemberian bantuan itu mengimplikasikan :
a.
Bahwa yang dibantu bukanlah seseorang yang sama
sekali tidak dapat apa-apa, tidak bersifat pasif sama sekali melainkan memiliki
aktivitas.
b.
Pencapaian kemandirian harus dimulai dengan
menerima realitas tentang ketergantungan anak yang mencakup kemampuan untuk
beridentifikasi, bekerja sama dan meniru pendidiknya.
c.
Manusia tidak terlahir sebagai seseorang
yang dewasa yang memperoleh pengaruh-pegaruh dari luar untuk berkembang.
Manusia (anak didik) hakikatnya
adalah makhluk sosial, ia hidup bersama dengan sesamanya ini akan terjadi
hubungan pengaruh timbal balik dimana setiap individu akan menerima pengaruh
dari individu yang lainnya. Sebab itu, maka sosialitas mengimplikasikan bahwa
manusia akan dapat dididik. Ada 4 prinsip
antropologis yang melandasi kemungkinan manusia akan dapat dididik, yaitu :
1.
Prinsip Individualitas
Praktek pendidikan merupakan upaya membantu
manusia (peserta didik) yang antara lain diarahkan agar ia mampu menjadi
dirinya sendiri. Disisi lain, manusia (peserta didik) adalah individu yang
memiliki dirinya sendiri (subyektivitas) bebas dan aktif berupaya untuk menjadi
dirinya sendiri.
2.
Prinsip Sosialitas
Pendidikan berlangsung dalam pergaulan (interaksi/komunikasi) antar sesama
manusia (pendidik dan peserta didik). Langeveld menyatakan bahwa setiap bayi
yang lahir dikaruniai potensi social. Melalui pergaulan tersebut pengaruh
pendidikan disampaikan pendidik dan diterima peserta dididik. Dengan
demikian hakikat manusia adalah
makhluk sosial, ia hidup bersama dengan sesamanya. Dalam kehidupan
bersama dengan sesamanya ini akan terjadi huhungan pengaruh timbal balik dimana
setiap individu akan menerima pengaruh dari individu yang lainnya. Sebab itu,
sosialitas mengimplementasikan bahwa manusia akan dapat dididik.
3.
Prinsip Moralitas
Pendidikan bersifat normatif, artinya
dilaksanakan berdasarkan sistem norma dan nilai tertentu. Di samping itu,
pendidikan bertujuan agar manusia berakhlak mulia, agar manusia
berperilaku sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang bersumber dari
agama, masyarakat dan budayanya. Dipihak lain, manusia berdimensi moralitas,
manusia mampu membedakan mana yang baik dan yang jahat. Sebab itu, dimensi
moralitas mengimplikasikan bahwa manusia akan dapat dididik.
4. Prinsip
uniksitas
Setiap manusia bersifat unik dan tidak ada dua manusia yang identik (sama)
dalam segalanya. Keempat landasan inilah yang memberikan landasan yang kokoh
untuk membuktikan bahwa manusia adalah makhluk ynag dapat dididik.
B.
Anak
Manusia dalam Kondisi Perlu Bantuan
Anak manusia untuk bisa menjadi
manusia yang mandiri, membutuhkan suatu proses yang lama dan tidak akan dengan
sendirinya tanpa bantuan orang lain untuk mencapainya. Karena itu anak manusia
memerlukan bantuan orang lain yang berada di sekitarnya salah satunya adalah
kasih sayang dari orang tua, pergaulan dengan sesama maupun bimbingan dari
guru. Bagi anak manusia, insting, nafsu, dan semua potensi itu belum mencukupi
untuk dapat langsung menjalani dan mengahadapi kehidupan serta untuk dapat
mengatasi semua masalah dan tantangan dalam hidupnya. Untuk dapat mewujudkan
semua potensinya itu, anak manusia mempunyai ketergantungan kepada orang
dewasa.
1.
Manusia
Lahir Tidak Berdaya
a.
Manusia
memiliki kelebihan
Manusia adalah hewan yang memiliki
akal budi, pandai berbicara, dan yang belum selesai serta memiliki martabat.
Manusia jauh lebih unggul dari hewan diantaranya manusia memiliki kesadaran
akan kemungkinan dan kemampuan menggunakan alat dan cara makan. Hal ini bukan
suatu kenyataan yang dibawa lahir, melainkan didapat manusia sepanjang
perkembangannya.
Menurut Nietzce, manusia adalah
hewan yang belum ditetapkan. Dibandingkan dengan kelahiran hewan yang terdekat
dengan jenisnya, manusia boleh dikatakan lahir terlalu dini sebelum ia dapat
menolong dirinya sendiri, ia terlanjur dilahirkan. Namun justru karena kekurangannya
inilah manusia memiliki kelebihan dibanding dengan hewan.
b.
Manusia
Belum dapat Menolong Dirinya Sendiri
Manusia dilahirkan dalam keadaan
belum dapat menolong dirinya sendiri, juga dalam hal-hal yang sangat penting
bagi kelangsungan hidupnya. Tanpa bantuan dari pihak lain dalam jangka waktu
yang lama, manusia tidak mungkin melangsungkan hidupnya. Bantuan tersebut tidak
saja bagi kehidupan fisiknya, melainkan psikis, kehidupan sosialnya,
pemertahanan kebutuhan biologis, maupun kebutuhan normative yang merupakan ciri
khas manusiawi yang ketika dewasa kelak yang akan jauh lebih berat. Untuk
memenuhi kebutuhan ini ia memerlukan bantuan, setidaknya awal masa hayatnya
sungguh ia berada dalam masa-masa kritis.
c.
Manusia
Dilahirkan dalam Lingkungan Manusiawi
Manusia dilahirkan dalam lingkungan yang manusiawi yang bertanggung jawab, yang berperasaan,
bermoral, dan yang social. Orang tua dan anak dengan masing-masing
karakteristiknya dari kedua pihak ini saling mengisi, sehingga keduanya
bersifat saling melengkapi. Proses orang tua atau guru yang dengan sukarela
membimbing dan memberi kasih sayang kepada anak tidak dirasakan sebagai sesuatu
yang rumit melainkan justru dirasakan merupakan suatu karunia yang mengikat dan
memperdalam hubungan kedua pihak. Keadaan perlu bantuan dari si anak
mengukuhkan kedudukan orang tua dan sebaliknya kesediaan dan ketulusan orang
tua untuk membimbing dan memberikan bantuan kepadanya yang berupa pendidikan
dan perawatan itu memungkinkan anak hidup sebagai anak yang sedang mempersiapkan
diri untuk meraih kedewasaannya kelak.
2.
Dunia
Manusia sebagai Dunia Terbuka
a.
Manusia
belum siap menghadapi kehidupan
Dalam teori retardasi dari Bolk
tersirat pendapat bahwa manusia dilahirkan terlalu dini, sebab pada
kelahirannya anak belum memiliki suatu spesialisasi dalam rangka mengisi dan
melaksanakan tugas hidupnya. Karena belum siap dan belum terspesialisasi itu,
ia harus mempersiapkan diri dan mendapatkan suatu cara yang khas bagi dia dalam
melaksanakan kehidupan dan tugas hidupnya itu. Memang berat dan sulit, sehingga
anak memerlukan waktu yang lama dibandingkan dengan hewan untuk mempersiapkan
hidupnya itu. Inilah merupakan batas pembeda antara kehidupan hewani dan
manusiawi menurut teori retardasi Bolk.
b.
Manusia
mampu menggunakan alat
Melalui anggota tubuhnya, manusia menemukan
kemungkinan dan kemampuannya untuk menggunakan alat. Kemampuan itu membuka
corak dan dimensi yang secara prinsipil berlainan dengan hewan. Dalam hal ini
tersirat dengan adanya :
1) Insiatif
dan daya kreaasi manusia
Inisiatif dan daya kreasi yang
merupakan manifestasi dari kebebasan dirinya dan merupakan saluran imajinasinya
menjadi jelas arah dan sasarannya dalam realita kehidupan yang harus
digelutinya yang hanya dapat terlaksana melalui bimbingan dan pendidikan yang
berlangsung dalam lingkungan hidup manusia.
2) Kemampuan
manusia unuk merealisasikan dirinya
Dalam hal ini manusia bersifat
ganda yaitu menghidupi dan menghadapi lingkungan. Pada suatu pihak manusia
menyatu dengan lingkungannya namun dipihak lain lingkungan yang hidup dan dunia
yang dihidupinya harus pula dihadapinya sebagai tugas. Maka ia harus mengambil
sikap terhadapnya, harus mengalah dan atau mungkin mengatasinya.
3) Kesadaran
manusia akan lingkungan
Manusia menanggapi lingkungan
berbeda dengan hewan. Bagi manusia, lingkungan tidak sekedar merupakan sesuatu
yang melindungi, melainkan mengundangnya untuk mengolah da menggarapnya.
Manusia mampu mengadakan refleksi, memikirkan dirinya dan perbuatannya serta
mampu menyadari kedudukannya dalam lingkungannya dan mengambil posisi
terhadapnya.
4) Keterarahan
hidup manusia kepada lingkungan
Mengenai pertautan manusia dengan
lingkungannya terdapat dua pandangan yang ekstrim yang saling berlawanan yaitu
(1) pandangan Leibniz dengan teori metode yang tertutup yang memandang pribadi
aktif dari dalam tanpa mendapatkan pengaruh dari luar, sehingga manusia
merupakan penyebab bukan akibat dari lingkungannya. (2) pandangan epifeminalis
yang mengaggap pribadi hanyalah efek atau akibat dari system persyratan yang
tidak berdaya sama sekali. Namun kedua pandangan tersebut tidak dapat diterima
karena manusia merupakan penyebab dan akibat sekaligus atau disebut dwifungsi
manusia terhadap lingkungannya. Dalam dunianya manusia adalah makhluk yang
terarah kepada lingkungannya, kepada Tuhan, benda-benda sekitar, sesama
manusia, diri sendiri dan kepada dunia.
5) Kesadaran
manusia akan tugasnya dalam lingkungan hidupnya
Dunia manusia tidak merupakan
sesuatu yang telah selesai, melainkan yang harus digarapnya. Manusia menghayati
dunianya sebagai penugasan. Manusia yang saat dilahirkan memerlukan bantuan
namun saat ia dewasa ada tugas yang harus dipenuhinya secara luas dan dalam.
c.
Manusia
sebagai makhluk yang perlu dididik
Salah satu peristiwa yang pernah
terjadi yang disebut peristiwa manusia serigala yaitu dua anak yang lebih
banyak beriteraksi dengan serigala di gua sehingga berperilaku layaknya hewan
mengindikasikan bahwa pendidikan itu sangatlah penting untuk manusia. Untuk
memungkinkan seorang bayi kelak hidup sebagai manusia dan melaksanakan tugas
kemanusiaannya ia perlu dididik dan dibesarkan oleh manusia dalam lingkungan
kemanusiaan dengan kata lain ia harus dimanusiakan. Dengan menggunakan istilah
dari Bloom, masalah nilai-nilai kemanusiaanya tidak hanya bergerak di bidang
kognitif dan psikomotorik, akan tetapi juga dalam bidang afektif. Maka tidak
ada jalan lain, kecuali kita harus mengakui bahwa manusia itu makhluk yang
perlu dididik.
C.
Dasar dan Ajar
Persoalan
dalam hal ini adalah faktor yang mempengaruhi perkembangan anak baik, yang
berasal dari dalam dirinya maupun dari lingkungan.
1.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi Perkembangan Manusia
a. Faktor
Keturunan
Anak memiliki warisan sifat-sifat bawaan
yang berasal dari kedua orang tuanya, merupakan potensi tertentu yang sudah terbentuk
dan sukar diubah. Menurut H.C. Witherington, hereditas adalah proses penurunan sifat-sifat
atau ciri-ciri tertentu dari satu generasi kegenerasi lain dengan perantaraan sel
benih. Pada dasarnya yang diturunkan itu adalah struktur tubuh, jadi apa yang diturunkan orang tua kepada anak-anaknya
berdasar perpaduan gen-gen yang pada umumnya hanya mencakup sifat atau ciri-ciri
atau sifat orang tua yang diperoleh dari lingkungan atau hasil belajar dari lingkungan.
b. Faktor Lingkungan
Lingkungan disekitar
manusia dapat digolongkan kepada dua jenis, yaitu lingkungan biotik dan lingkungan
abiotik. Lingkungan abiotik adalah lingkungan makhluk tidak bernyawa seperti batu,
air, hujan, tanah dan musim. Lingkungan biotic adalah lingkungan makhluk hidup bernyawa
terdiri dari tiga jenis yaitu lingkungan nabati, lingkungan hewani, dan lingkungan
manusia (sosial, budaya dan spiritual). Lingkungan social meliputi bentuk hubungan
sikap atau tingkah laku manusia. Lingkungan budaya meliputi adat istiadat,
bahasa, norma-norma dan peraturan yang berlaku. Lingkungan spiritual meliputi
agama dan keyakinan.
c. Faktor Diri
Guru harus memahami faktor diri yang merupakan faktor kejiwaan kehidupan
seorang anak misalnya berupa emosi, motivasi intelegensi dan sikap. Beberapa ciri perkembangan kejiwaan anak
yang dikemukakan oleh Abu Ahmadi (2001:220-221), yaitu sebagai berikut :
1) Ciri perkembangan
kejiwaan anak Taman Kanak-Kanak :
-
Kemampuan melayani kebutuhan fisik secara sederhana
telah mulai berubah.
-
Mulai mengenal kehidupan sosial dan pola sosial yang
berlaku dan dilakukannya.
-
Menyadari dirinya berbeda dengan anak yang lain yang
mempunyai keinginan dan perasaan tertentu.
-
Masih tergantung dari orang lain, dan memerlukan
perlindungan orang lain. Belum dapat membedakan antara yang nyata dan yang
khayal.
2) Ciri-ciri
perkembangan kejiwaan Anak SD :
-
Pertumbuhan fisik dan motorik maju pesat.
-
Kehidupan sosial diperkaya dengan kemampuan bekerja
sama dan bersaing dalam kehidupan berkelompok.
-
Mempunyai kemampuan memahami sebab akibat.
-
Dalam kegiatan – kegiatannya belum membedakan jenis
kelamin, dan dasar yang digunakan adalah kemampuan dan pengalaman yang sama.
3) Ciri-ciri
Perkembangan kejiwaan Anak SMP
-
Mulai mampu memahami hal-hal yang abstrak (khayal).
-
Mampu bertukar pendapat dengan orang lain.
-
Tumbuh minat memahami diri sendiri dan diri orang lain.
-
Tumbuh pengertian tentang konsep norma dan social.
-
Mampu membuat keputusan sendiri.
2. Aliran-aliran Pendidikan
Pembawaan/dasar (nature) atau pendidikan/ajar
memiliki 3 aliran pokok, yaitu:
a. Nativisme
Dalam
pendidikan aliran nativisme dipelopori oleh Schoupenhauer. Aliran
nativisme berkeyakinan bahwa anak yang baru lahir membawa bakat, kesanggupan
dan sifat-sifat tertentu. Bakat, kemampuan, dan sifat-sifat yang dibawa sejak
lahir sangat menentukan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak manusia.
Pendidikan dan lingkungan tidak berpengaruh terhadap perkembangan anak. Awal
pembentukan manusia yang berasal dari zigot mengandung berbagai potensi
pertumbuhan dan perkembangan yang menimbulkan keragaman individu di samping
persamaannya sehingga menurut pandangan ini perkembangan seseorang sepenuhnya
ditentukan oleh bakat pembawaannya.
Pandangan nativisme kurang mempercayai bahwa pendidikan
akan mampu mengubah atau mengarahkan tingkah laku seseorang. Seseorang mencapai
cita-citanya misalnya dokter, guru dll semata-mata hanya karena bakat bukan
pengaruh lingkungan atau pendidikan sehingga dijuluki pandangan optimisme
naturalis.
b. Naturalisme
Aliran ini
dipelopori oleh J.J Rousseau. Nature artinya alam atau apa yang dibawa sejak
lahir. Rousseau berpendapat bahwa semua anak yang dilahirkan berpembawaan baik,
namun akan menjadi rusak karena dipengaruhi oleh lingkungan dan pendidikan yang
diberikan oleh orang dewasa, sehingga bimbingan dari orang dewasa tidak
diperlukan. Oleh karena itu, Rousseau mengajukan konsep pendidikan alam,
artinya anak hendaklah dibiarkan tumbuh dan berkembang sendiri menurut alamnya
sehingga anak terhindar dari segala keburukan masyarakat yang serba
dibuat-buat.
c. Empirisme
Aliran ini
dipelopori oleh John Locke yang mementingkan ransangan dari luar dalam
perkembangan manusia dan menyatakan bahwa perkembangan anak tergantung kepada
lingkungan dan sama sekali tidak memperhatikan pembawaan atau bakat anak.
Pengalaman yang diperoleh oleh anak dalam kehidupan sehari-hari diperoleh dari
dunia sekitarnya yang berupa stimulus-stimulus dari alam bebas atau diciptakan
oleh orang dewasa dalam bentuk program pendidikan. Aliran ini dipandang berat
sebelah sebab hanya mementingkan pengalaman dari lingkungan.
Keadaan
manusia saat dilahirkan diumpamakan Locke sebagai tabula rasa. Tabula rasa
mengatakan bahwa anak yang baru dilahirkan itu dapat diumpamakan sebagai kertas
putih yang belum ditulisi. Disinilah kekuatan untuk membentuk anak berada pada
pendidik, sehingga lingkungan dalam hal ini pendidikan berkuasa atas
pembentukan anak atau biasa disebut sebagai aliran optimisme pedagogis yang
berlawanan dengan aliran nativisme. Implikasi teori empirisme terhadap
pendidikan yakni memberikan kemungkinan sepenuhnya bagi pendidik
(pendidikan/ajar) untuk dapat membentuk kepribadian anak didik, tanggung jawab
pendidikan sepenuhnya ada di pihak pendidik.
d. Konvergensi
Aliran konvergensi dipelopori oleh William Stern. Dia
berpendapat bahwa perkembangan individu mendapat pengaruh, baik dari bawaan
(dasar) maupun lingkungan termasuk pendidikan (ajar). Keduanya bekerja sama.
Perkembangan seseorang tidak sekedar ditentukan oleh dasar saja melainkan juga
ajar mempunyai sahamnya. Keduanya tidak merupakan penjumlahan melainkan
merupakan keterjalinan. Implikasi teori ini terhadap pendidikan
yakni dalam melaksanakan pendidikan bakat dan lingkungan harus mendapat
perhatian yang seimbang. Pendidikan memegang peranan penting, namun demikian
pendidik hendaknya merendah hati. Sebab upayanya itu bergantung pada situasi
pendidikan itu berlangsung, dari cara anak menerima dan menolaknya, dari bakat
dan kemampuan anak sehingga sulit ditentukan mana hasil didikan dan mana hasil
penjabaran bakat dan bawaan. Oleh karena itu pendidik haruslah optimis namun
patut diingat bahwa banyak variabel yang menentukan keberhasilan pendidikannya.
No comments:
Post a Comment