Wednesday, October 25, 2017

MAKALAH MANUSIA SEBAGAI ANIMAL EDUCANDUM



MAKALAH MANUSIA SEBAGAI ANIMAL EDUCANDUM
diadaptasi dari buku Uyo Sadulloh
A.    Pendidikan Hanya untuk Manusia
Manusia sebagai animal educandum, secara bahasa berarti bahwa manusia merupakan hewan yang dapat dididik dan harus mendapatkan pendidikan. Secara tidak langsung pengertian tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara manusia dengan hewan. Perbedaan manusia dengan hewan adalah manusia dapat dididik dan harus mendapatkan pendidikan agar dapat membedakan yang baik dan benar, sedangkan hewan tidak dapat membedakan perbuatan baik ataupun buruk.
Seringkali dalam dunia hewan terjadi gejala-gejala aneh yang kadang-kadang bertentangan dengan alam pikiran manusia, meskipun pada hewan misalnya laba-laba betina memakan jantannya ketika hampir masanya ia bertelur untuk menjaga anaknya dari bahaya. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa pada binatang menyusui misalnya kucing atau anjing  memiliki banyak persamaan dengan manusia dalam hal membesarkan atau memelihara anaknya, namun hanya manusialah yang memerlukan pendidikan bukan hewan.
1.      Manusia dan Hewan
3
Pada dasarnya, hewan berperilaku hanyalah berdasarkan atas insting atau nalurinya. Hewan tidak dapat membedakan perbuatan baik ataupun buruk, mana perbuatan bermoral maupun tidak bermoral. Hewan tidak memiliki hati nurani, tidak mampu memiliki nilai-nilai dan tidak memiliki perasaan. Hewan tidak akan memiliki perasaan bagaimana pun manusia berusaha menyampaikannya pada hewan tersebut. Misalnya seekor gajah yang jinak dan begitu akrab dengan pengasuhnya, namun secara tiba-tiba dapat membelit pengasuhnya dengan belalainya.
Beberapa ekor binatang memang dapat dilatih untuk melakukan gerakan-gerakan tertentu secara terus menerus atau mengenal tanda-tanda, namun hal itu hanyalah terjadi secara mekanis tanpa melibatkan proses berpikir. Hasil berpikir secara intelektual melibatkan simbol-simbol misalnya bahasa hanya dapat dilakukan oleh manusia namun tidak dapat dilakukan oleh hewan karena hewan hanya dapat menerima sinyal, tidak sampai pada bahasa sebagai simbol. Meskipun lumba-lumba dapat menebak hasil perkalian suatu anagka, kerbau dilatih menarik bajak, atau anjing yang dapat melacak keberadaan narkoba, namun hal-hal tersebut tidak dapat dikatakan bahwa hewan dapat dididik.
Pendidikan pada hakikatnya akan berusaha untuk mengubah perilaku. Namun tidak semua perilaku dapat tersentuh oleh pendidikan karena hewan pun merupakan makhluk yang berperilaku. Prof. Khonstam mengemukakan beberapa lapisan perilaku dari perilaku makhluk hidup di jagat raya sebagai berikut :
a.       Perilaku anorganis adalah suatu gerakan yang terjadi pada benda-benda mati misalnya adanya gaya gravitasi bumi.
b.      Perilaku nabati (vegetatif) adalah perilaku yang terjadi pada tumbuh-tumbuhan misalnya proses pernapasan pada tumbuhan.
c.       Perilaku hewani adalah perilaku yang bersifat instingtif misalnya lapar dan ingin mempertahankan diri.
d.      Perilaku insane (manusiawi) merupaka perilaku yang hanya dimiliki oleh manusia yang terdiri dari :
-          Manusia berkemampuan untuk menguasai hawa nafsu.
-          Manusia memiliki kesadaran intelektual, ia dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, menjadikan manusia makhluk berbudaya.
-          Manusia memiliki kesadaran diri, dapat menyadari sifat-sifat yang ada pada dirinya, manusia dapat mengadakan introspeksi.
-          Manusia adalah makhluk sosial, membutuhkan orang lain untuk hidup bersama-sama, berorganisasi dan bernegara.
-          Manusia memiliki bahasa simbolis, baik tertulis maupun secara lisan.
-          Manusia dapat menyadari nilai-nilai (etika maupun estetika) dan dapat berbuat sesuai nilai-nilai tersebut, dan memiliki kata hati.
e.       Perilaku mutlak adalah perilaku yang memungkinkan manusia dapat menghayati kehidupan beragama sehingga dapat berkomunikasi dengan Tuhan.
Maka jelaslah bahwa hewan tidak dapat dididik dan tidak memungkinkan untuk menerima pendidikan, sehingga tidak mungkin dapat dilibatkan dalam proses pendidikan. Hanyaa manusialah yang dapat dididik dan memungkinkan dapat menerima pendidikan, karena manusia memiliki akal budi.
2.      Mengapa Manusia Harus Dididik
Beberapa asumsi yang memungkinkan manusia harus dididik dan memperoleh pendidikan yaitu:
a.       Manusia dilahirkan dalam keadaan tidak berdaya. Manusia begitu lahir ke dunia, perlu mendapatkan uluran orang lain (ibu dan ayah) untuk dapat melangsungkan hidup dan kehidupannya.
b.      Manusia lahir tidak langsung dewasa, untuk sampai pada kedewasaan itu sendiri memerlukan proses yang panjang dan waktu yang lama. Dalam mengarungi kehidupan dewasa, manusia perlu dipersiapkan. Bekal tersebut dapat diperoleh dengan pendidikan.
c.       Manusia (anak didik) hakikatnya adalah makhluk sosial, ia hidup bersama dengan sesamanya ini akan terjadi hubungan pengaruh timbal balik dimana setiap individu akan menerima pengaruh dari individu yang lainnya. Sebab itu, maka sosialitas mengimplikasikan bahwa manusia akan perlu dididik.
d.      Manusia merupakan makhluk yang dapat dididik, memungkinkan untuk memperoleh pendidikan.
Manusia merupakan makhluk yang harus dididik, karena manusia lahir dalam keadaan tidak berdaya, lahir tidak langsung dewasa. Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan interaksi dengan sesamanya.
3.      Manusia sebagai Makhluk yang Dapat Dididik
            Manusia belum selesai menjadi manusia, ia dibebani keharusan untuk menjadi manusia, tetapi ia tidak dengan sendirinya menjadi manusia, untuk menjadi manusia ia perlu dididik dan mendidik diri. ”Manusia dapat menjadi manusia hanya melalui pendidikan”,demikian kesimpulan Immanuel Kant dalam teori pendidikannya. Peryataan tersebut sejalan dengan hasil studi M.J. Langeveld yang memberikan identitas kepada manusia dengan sebutan ”Animal Educandum”  atau hewan yang perlu didik dan mendidik diri (M.J.Langeveld, 1980). Langeveld merumuskan bahwa manusia adalah animal educandum yang artinya manusia yang perlu dididik, agar ia dapat melaksanakan kehidupannya sebagai manusia, agar ia dapat melaksanakan tugas hidupnya secara mandiri.
          Hubungan antar pendidik dan anak didik dalam proses mendidik, merupakan hubungan anatar subjek dan subjek sehingga pendidik tidak melakukan apa saja terhadap anak didik sesuai seleranya. Anak memiliki inisiatif dan daya kreatif, merupakan manifestasi dari kebebasan yang secara prinsip telah dimiliki anak bersamaan dengan kelahirannya, sehingga menyiratkan bahwa manusia atau anak adalah makhluk yang dapat dididik. Anak berada dalam keadaan perlu bantuan dan memungkinkan pendidik bertindak sebagai pendidiknya. Inti dari kegiatan pendidikan adalah pemberian bantuan kepada anak dalam rangka mencapai kedewasaannya. Pemberian bantuan itu mengimplikasikan :
a.     Bahwa yang dibantu bukanlah seseorang yang sama sekali tidak dapat apa-apa, tidak bersifat pasif sama sekali melainkan memiliki aktivitas.
b.    Pencapaian kemandirian harus dimulai dengan menerima realitas tentang ketergantungan anak yang mencakup kemampuan untuk beridentifikasi, bekerja sama dan meniru pendidiknya.
c.     Manusia tidak terlahir sebagai seseorang yang dewasa yang memperoleh pengaruh-pegaruh dari luar untuk berkembang.
Manusia (anak didik) hakikatnya adalah makhluk sosial, ia hidup bersama dengan sesamanya ini akan terjadi hubungan pengaruh timbal balik dimana setiap individu akan menerima pengaruh dari individu yang lainnya. Sebab itu, maka sosialitas mengimplikasikan bahwa manusia akan dapat dididik. Ada 4 prinsip antropologis yang melandasi kemungkinan manusia akan dapat dididik, yaitu :
1.          Prinsip Individualitas
Praktek pendidikan merupakan upaya membantu manusia (peserta didik) yang antara lain diarahkan agar ia mampu menjadi dirinya sendiri. Disisi lain, manusia (peserta didik) adalah individu yang memiliki dirinya sendiri (subyektivitas) bebas dan aktif berupaya untuk menjadi dirinya sendiri.
2.          Prinsip Sosialitas
Pendidikan berlangsung dalam pergaulan (interaksi/komunikasi) antar sesama manusia (pendidik dan peserta didik). Langeveld menyatakan bahwa setiap bayi yang lahir dikaruniai potensi social. Melalui pergaulan tersebut pengaruh pendidikan disampaikan pendidik dan diterima peserta dididik. Dengan demikian hakikat manusia adalah makhluk sosial, ia hidup bersama dengan sesamanya. Dalam kehidupan bersama dengan sesamanya ini akan terjadi huhungan pengaruh timbal balik dimana setiap individu akan menerima pengaruh dari individu yang lainnya. Sebab itu, sosialitas mengimplementasikan bahwa manusia akan dapat dididik.
3.          Prinsip Moralitas
Pendidikan bersifat normatif, artinya dilaksanakan berdasarkan sistem norma dan nilai tertentu. Di samping itu, pendidikan bertujuan agar manusia berakhlak mulia, agar manusia berperilaku sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang bersumber dari agama, masyarakat dan budayanya. Dipihak lain, manusia berdimensi moralitas, manusia mampu membedakan mana yang baik dan yang jahat. Sebab itu, dimensi moralitas mengimplikasikan bahwa manusia akan dapat dididik.
4.        Prinsip uniksitas
Setiap manusia bersifat unik dan tidak ada dua manusia yang identik (sama) dalam segalanya. Keempat landasan inilah yang memberikan landasan yang kokoh untuk membuktikan bahwa manusia adalah makhluk ynag dapat dididik.
B.     Anak Manusia dalam Kondisi Perlu Bantuan
Anak manusia untuk bisa menjadi manusia yang mandiri, membutuhkan suatu proses yang lama dan tidak akan dengan sendirinya tanpa bantuan orang lain untuk mencapainya. Karena itu anak manusia memerlukan bantuan orang lain yang berada di sekitarnya salah satunya adalah kasih sayang dari orang tua, pergaulan dengan sesama maupun bimbingan dari guru. Bagi anak manusia, insting, nafsu, dan semua potensi itu belum mencukupi untuk dapat langsung menjalani dan mengahadapi kehidupan serta untuk dapat mengatasi semua masalah dan tantangan dalam hidupnya. Untuk dapat mewujudkan semua potensinya itu, anak manusia mempunyai ketergantungan kepada orang dewasa.



1.      Manusia Lahir Tidak Berdaya
a.      Manusia memiliki kelebihan
Manusia adalah hewan yang memiliki akal budi, pandai berbicara, dan yang belum selesai serta memiliki martabat. Manusia jauh lebih unggul dari hewan diantaranya manusia memiliki kesadaran akan kemungkinan dan kemampuan menggunakan alat dan cara makan. Hal ini bukan suatu kenyataan yang dibawa lahir, melainkan didapat manusia sepanjang perkembangannya.
Menurut Nietzce, manusia adalah hewan yang belum ditetapkan. Dibandingkan dengan kelahiran hewan yang terdekat dengan jenisnya, manusia boleh dikatakan lahir terlalu dini sebelum ia dapat menolong dirinya sendiri, ia terlanjur dilahirkan. Namun justru karena kekurangannya inilah manusia memiliki kelebihan dibanding dengan hewan.
b.      Manusia Belum dapat Menolong Dirinya Sendiri
Manusia dilahirkan dalam keadaan belum dapat menolong dirinya sendiri, juga dalam hal-hal yang sangat penting bagi kelangsungan hidupnya. Tanpa bantuan dari pihak lain dalam jangka waktu yang lama, manusia tidak mungkin melangsungkan hidupnya. Bantuan tersebut tidak saja bagi kehidupan fisiknya, melainkan psikis, kehidupan sosialnya, pemertahanan kebutuhan biologis, maupun kebutuhan normative yang merupakan ciri khas manusiawi yang ketika dewasa kelak yang akan jauh lebih berat. Untuk memenuhi kebutuhan ini ia memerlukan bantuan, setidaknya awal masa hayatnya sungguh ia berada dalam masa-masa kritis.
c.       Manusia Dilahirkan dalam Lingkungan Manusiawi
Manusia dilahirkan dalam lingkungan yang manusiawi  yang bertanggung jawab, yang berperasaan, bermoral, dan yang social. Orang tua dan anak dengan masing-masing karakteristiknya dari kedua pihak ini saling mengisi, sehingga keduanya bersifat saling melengkapi. Proses orang tua atau guru yang dengan sukarela membimbing dan memberi kasih sayang kepada anak tidak dirasakan sebagai sesuatu yang rumit melainkan justru dirasakan merupakan suatu karunia yang mengikat dan memperdalam hubungan kedua pihak. Keadaan perlu bantuan dari si anak mengukuhkan kedudukan orang tua dan sebaliknya kesediaan dan ketulusan orang tua untuk membimbing dan memberikan bantuan kepadanya yang berupa pendidikan dan perawatan itu memungkinkan anak hidup sebagai anak yang sedang mempersiapkan diri untuk meraih kedewasaannya kelak.
2.      Dunia Manusia sebagai Dunia Terbuka
a.      Manusia belum siap menghadapi kehidupan
Dalam teori retardasi dari Bolk tersirat pendapat bahwa manusia dilahirkan terlalu dini, sebab pada kelahirannya anak belum memiliki suatu spesialisasi dalam rangka mengisi dan melaksanakan tugas hidupnya. Karena belum siap dan belum terspesialisasi itu, ia harus mempersiapkan diri dan mendapatkan suatu cara yang khas bagi dia dalam melaksanakan kehidupan dan tugas hidupnya itu. Memang berat dan sulit, sehingga anak memerlukan waktu yang lama dibandingkan dengan hewan untuk mempersiapkan hidupnya itu. Inilah merupakan batas pembeda antara kehidupan hewani dan manusiawi menurut teori retardasi Bolk.

b.      Manusia mampu menggunakan alat
Melalui anggota tubuhnya, manusia menemukan kemungkinan dan kemampuannya untuk menggunakan alat. Kemampuan itu membuka corak dan dimensi yang secara prinsipil berlainan dengan hewan. Dalam hal ini tersirat dengan adanya :
1)      Insiatif dan daya kreaasi manusia
Inisiatif dan daya kreasi yang merupakan manifestasi dari kebebasan dirinya dan merupakan saluran imajinasinya menjadi jelas arah dan sasarannya dalam realita kehidupan yang harus digelutinya yang hanya dapat terlaksana melalui bimbingan dan pendidikan yang berlangsung dalam lingkungan hidup manusia.
2)      Kemampuan manusia unuk merealisasikan dirinya
Dalam hal ini manusia bersifat ganda yaitu menghidupi dan menghadapi lingkungan. Pada suatu pihak manusia menyatu dengan lingkungannya namun dipihak lain lingkungan yang hidup dan dunia yang dihidupinya harus pula dihadapinya sebagai tugas. Maka ia harus mengambil sikap terhadapnya, harus mengalah dan atau mungkin mengatasinya.
3)      Kesadaran manusia akan lingkungan
Manusia menanggapi lingkungan berbeda dengan hewan. Bagi manusia, lingkungan tidak sekedar merupakan sesuatu yang melindungi, melainkan mengundangnya untuk mengolah da menggarapnya. Manusia mampu mengadakan refleksi, memikirkan dirinya dan perbuatannya serta mampu menyadari kedudukannya dalam lingkungannya dan mengambil posisi terhadapnya.
4)      Keterarahan hidup manusia kepada lingkungan
Mengenai pertautan manusia dengan lingkungannya terdapat dua pandangan yang ekstrim yang saling berlawanan yaitu (1) pandangan Leibniz dengan teori metode yang tertutup yang memandang pribadi aktif dari dalam tanpa mendapatkan pengaruh dari luar, sehingga manusia merupakan penyebab bukan akibat dari lingkungannya. (2) pandangan epifeminalis yang mengaggap pribadi hanyalah efek atau akibat dari system persyratan yang tidak berdaya sama sekali. Namun kedua pandangan tersebut tidak dapat diterima karena manusia merupakan penyebab dan akibat sekaligus atau disebut dwifungsi manusia terhadap lingkungannya. Dalam dunianya manusia adalah makhluk yang terarah kepada lingkungannya, kepada Tuhan, benda-benda sekitar, sesama manusia, diri sendiri dan kepada dunia.
5)      Kesadaran manusia akan tugasnya dalam lingkungan hidupnya
Dunia manusia tidak merupakan sesuatu yang telah selesai, melainkan yang harus digarapnya. Manusia menghayati dunianya sebagai penugasan. Manusia yang saat dilahirkan memerlukan bantuan namun saat ia dewasa ada tugas yang harus dipenuhinya secara luas dan dalam.
c.       Manusia sebagai makhluk yang perlu dididik
Salah satu peristiwa yang pernah terjadi yang disebut peristiwa manusia serigala yaitu dua anak yang lebih banyak beriteraksi dengan serigala di gua sehingga berperilaku layaknya hewan mengindikasikan bahwa pendidikan itu sangatlah penting untuk manusia. Untuk memungkinkan seorang bayi kelak hidup sebagai manusia dan melaksanakan tugas kemanusiaannya ia perlu dididik dan dibesarkan oleh manusia dalam lingkungan kemanusiaan dengan kata lain ia harus dimanusiakan. Dengan menggunakan istilah dari Bloom, masalah nilai-nilai kemanusiaanya tidak hanya bergerak di bidang kognitif dan psikomotorik, akan tetapi juga dalam bidang afektif. Maka tidak ada jalan lain, kecuali kita harus mengakui bahwa manusia itu makhluk yang perlu dididik.
C.    Dasar dan Ajar
Persoalan dalam hal ini adalah faktor yang mempengaruhi perkembangan anak baik, yang berasal dari dalam dirinya maupun dari lingkungan.
1.      Faktor-faktor yang mempengaruhi Perkembangan Manusia
a.       Faktor Keturunan
Anak memiliki warisan sifat-sifat bawaan yang berasal dari kedua orang tuanya, merupakan potensi tertentu yang sudah terbentuk dan sukar diubah. Menurut H.C. Witherington, hereditas adalah proses penurunan sifat-sifat atau ciri-ciri tertentu dari satu generasi kegenerasi lain dengan perantaraan sel benih. Pada dasarnya yang diturunkan itu adalah struktur tubuh,  jadi apa yang diturunkan orang tua kepada anak-anaknya berdasar perpaduan gen-gen yang pada umumnya hanya mencakup sifat atau ciri-ciri atau sifat orang tua yang diperoleh dari lingkungan atau hasil belajar dari lingkungan.
b.      Faktor Lingkungan
Lingkungan disekitar manusia dapat digolongkan kepada dua jenis, yaitu lingkungan biotik dan lingkungan abiotik. Lingkungan abiotik adalah lingkungan makhluk tidak bernyawa seperti batu, air, hujan, tanah dan musim. Lingkungan biotic adalah lingkungan makhluk hidup bernyawa terdiri dari tiga jenis yaitu lingkungan nabati, lingkungan hewani, dan lingkungan manusia (sosial, budaya dan spiritual). Lingkungan social meliputi bentuk hubungan sikap atau tingkah laku manusia. Lingkungan budaya meliputi adat istiadat, bahasa, norma-norma dan peraturan yang berlaku. Lingkungan spiritual meliputi agama dan keyakinan.
c.       Faktor Diri
             Guru harus memahami faktor diri yang merupakan faktor kejiwaan kehidupan seorang anak misalnya berupa emosi, motivasi intelegensi dan sikap. Beberapa ciri perkembangan kejiwaan anak yang dikemukakan oleh Abu Ahmadi (2001:220-221), yaitu sebagai berikut :
1)      Ciri perkembangan kejiwaan anak Taman Kanak-Kanak :
-          Kemampuan melayani kebutuhan fisik secara sederhana telah mulai berubah. 
-          Mulai mengenal kehidupan sosial dan pola sosial yang berlaku dan dilakukannya.
-          Menyadari dirinya berbeda dengan anak yang lain yang mempunyai keinginan dan perasaan tertentu. 
-          Masih tergantung dari orang lain, dan memerlukan perlindungan orang lain. Belum dapat membedakan antara yang nyata dan yang khayal.
2)      Ciri-ciri perkembangan kejiwaan Anak SD :
-          Pertumbuhan fisik dan motorik maju pesat. 
-          Kehidupan sosial diperkaya dengan kemampuan bekerja sama dan bersaing dalam kehidupan berkelompok.
-          Mempunyai kemampuan memahami sebab akibat.
-          Dalam kegiatan – kegiatannya belum membedakan jenis kelamin, dan dasar yang digunakan adalah kemampuan dan pengalaman yang sama.
3)      Ciri-ciri Perkembangan kejiwaan Anak SMP 
-          Mulai mampu memahami hal-hal yang abstrak (khayal).
-          Mampu bertukar pendapat dengan orang lain. 
-          Tumbuh minat memahami diri sendiri dan diri orang lain.
-          Tumbuh pengertian tentang konsep norma dan social.
-          Mampu membuat keputusan sendiri.
2.      Aliran-aliran Pendidikan
Pembawaan/dasar (nature) atau pendidikan/ajar memiliki 3 aliran pokok, yaitu:
a.       Nativisme
Dalam pendidikan aliran nativisme dipelopori oleh Schoupenhauer. Aliran nativisme berkeyakinan bahwa anak yang baru lahir membawa bakat, kesanggupan dan sifat-sifat tertentu. Bakat, kemampuan, dan sifat-sifat yang dibawa sejak lahir sangat menentukan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak manusia. Pendidikan dan lingkungan tidak berpengaruh terhadap perkembangan anak. Awal pembentukan manusia yang berasal dari zigot mengandung berbagai potensi pertumbuhan dan perkembangan yang menimbulkan keragaman individu di samping persamaannya sehingga menurut pandangan ini perkembangan seseorang sepenuhnya ditentukan oleh bakat pembawaannya.
Pandangan nativisme kurang mempercayai bahwa pendidikan akan mampu mengubah atau mengarahkan tingkah laku seseorang. Seseorang mencapai cita-citanya misalnya dokter, guru dll semata-mata hanya karena bakat bukan pengaruh lingkungan atau pendidikan sehingga dijuluki pandangan optimisme naturalis.
b.      Naturalisme
Aliran ini dipelopori oleh J.J Rousseau. Nature artinya alam atau apa yang dibawa sejak lahir. Rousseau berpendapat bahwa semua anak yang dilahirkan berpembawaan baik, namun akan menjadi rusak karena dipengaruhi oleh lingkungan dan pendidikan yang diberikan oleh orang dewasa, sehingga bimbingan dari orang dewasa tidak diperlukan. Oleh karena itu, Rousseau mengajukan konsep pendidikan alam, artinya anak hendaklah dibiarkan tumbuh dan berkembang sendiri menurut alamnya sehingga anak terhindar dari segala keburukan masyarakat yang serba dibuat-buat.
c.       Empirisme
Aliran ini dipelopori oleh John Locke yang mementingkan ransangan dari luar dalam perkembangan manusia dan menyatakan bahwa perkembangan anak tergantung kepada lingkungan dan sama sekali tidak memperhatikan pembawaan atau bakat anak. Pengalaman yang diperoleh oleh anak dalam kehidupan sehari-hari diperoleh dari dunia sekitarnya yang berupa stimulus-stimulus dari alam bebas atau diciptakan oleh orang dewasa dalam bentuk program pendidikan. Aliran ini dipandang berat sebelah sebab hanya mementingkan pengalaman dari lingkungan.
Keadaan manusia saat dilahirkan diumpamakan Locke sebagai tabula rasa. Tabula rasa mengatakan bahwa anak yang baru dilahirkan itu dapat diumpamakan sebagai kertas putih yang belum ditulisi. Disinilah kekuatan untuk membentuk anak berada pada pendidik, sehingga lingkungan dalam hal ini pendidikan berkuasa atas pembentukan anak atau biasa disebut sebagai aliran optimisme pedagogis yang berlawanan dengan aliran nativisme. Implikasi teori empirisme terhadap pendidikan yakni memberikan kemungkinan sepenuhnya bagi pendidik (pendidikan/ajar) untuk dapat membentuk kepribadian anak didik, tanggung jawab pendidikan sepenuhnya ada di pihak pendidik.
d.      Konvergensi
            Aliran konvergensi dipelopori oleh William Stern. Dia berpendapat bahwa perkembangan individu mendapat pengaruh, baik dari bawaan (dasar) maupun lingkungan termasuk pendidikan (ajar). Keduanya bekerja sama. Perkembangan seseorang tidak sekedar ditentukan oleh dasar saja melainkan juga ajar mempunyai sahamnya. Keduanya tidak merupakan penjumlahan melainkan merupakan keterjalinan. Implikasi teori ini terhadap pendidikan yakni dalam melaksanakan pendidikan bakat dan lingkungan harus mendapat perhatian yang seimbang. Pendidikan memegang peranan penting, namun demikian pendidik hendaknya merendah hati. Sebab upayanya itu bergantung pada situasi pendidikan itu berlangsung, dari cara anak menerima dan menolaknya, dari bakat dan kemampuan anak sehingga sulit ditentukan mana hasil didikan dan mana hasil penjabaran bakat dan bawaan. Oleh karena itu pendidik haruslah optimis namun patut diingat bahwa banyak variabel yang menentukan keberhasilan pendidikannya.










No comments:

Post a Comment

Semata Wayang

SISTEM PEMBELAJARAN

SISTEM PEMBELAJARAN A.     Pengertian dan Kegunaan Sistem Sistem adalah satu kesatuan komponen yang satu sama lain saling berkaitan dan...