MAKALAH SITUASI PERGAULAN DAN SITUASI PENDIDIKAN SERTA ALAT PENDIDIKAN
Dari buku Uyo Sadulloh dengan pengubahan
A.
Situasi
Pergaulan dan Situasi Pendidikan
Pergaulan merupakan dua orang atau lebih
bersama-sama mengadakan hubungan antara sesamanya. Hubungan antara orang dewasa
dengan anak yang belum dewasa kemungkinan membentuk dua situasi yaitu situasi
pergaulan dan situasi pendidikan.
1. Situasi
Pergaulan
Pergaulan
adalah proses interaksi yang dilakukan oleh individu dengan individu yang lain
maupun dengan kelompok. Seperti yang dikemukakan oleh Aristoteles bahwa manusia
sebagai makhluk sosial (zoon-politicon) yang artinya manusia sebagai makhluk
sosial yang tak lepas dari kebersamaan dengan manusia lain. Pergaulan mempunyai
pengaruh yang besar dalam pembentukan kepribadian individu. Jika dalam suatu
pergaulan antara orang dewasa dengan anak didasarkan atas niat untuk memuaskan
keinginan orang dewasa dan tidak didasarkan untuk mencapai tujuan pendidikan,
maka situasi yang tercipta bukan situasi pendidikan melalainkan situasi
pergaulan.
Misalnya, seorang guru/pendidik menawarkan buku pelajaran
kepada murid-muridnya dengan tujuan mendapatkan keutungan dari hasil penjualan
buku berupa komisi dari penerbit, maka tindakan tersebut tidak bisa digolongkan
kepada situasi pendidikan walaupun terjadi di lingkungan sekolah (kelas). Hal
tersebut hanyalah merupakan situasi pergaulan biasa, bukan situasi pendidikan. Situasi
yang berisi tindakan bukan pendidikan tidak akan menciptakan situasi pendidikan
melainkan tetap situasi pergaulan.
Dalam situasi pergaulan anak memperoleh kesempatan untuk
menjadi dirinya serta mengekspresikan apa yang yang dihayatinya. Anak dapat
mengungkapkan dengan bebas dan spontan semua pikiran, perasaan maupun kemauan
yang dihayatinya. Dengan adanya kesempatan untuk bertindak dan bertingkah laku
seperti yang ia inginkan, anak dapat mengembangkan bentuk kepribadiannya
sendiri. Keinginan tersebut dapat diperoleh anak dalam pergaulan.
Oleh
karena itu, selama anak tidak melanggar norma atau nilai-nilai pedagogis,
sebaiknya ia diberikan kebebasan seluas-luasnya untuk bergerak dan berbuat
sesuatu. Biarkan anak merasakan kehidupannya sebagai anak. Situasi pergaulan
yang sifatnya wajar dan alamiah memberikan kesempatan kepada anak untuk
menyerap dan mencerna semua pengalaman sesuai pilihan kesukaannya tanpa merasa
ada paksaan. Apabila sikap, ucap, dan perbuatan yang diserap dan dicerna anak
adalah sikap, ucap, dan perbuatan yang baik sesuai dengan norma-norma susila,
maka akibatnya perkembangan anak akan baik begitu pula sebaliknya. Karena itu
orang tua dan pendidik harus memperhatikan situasi pergaulan bukan hanya
sebagai suatu “suasana” yang dapat memberikan pengaruh, melainkan karena
lamanya anak berada dalam situasi pergaulan dibandingkan dalam situasi
pendidikan.
·
Mengapa situasi pergaulan bisa
terjadi?
Situasi
pergaulan akan terjadi apabila ada
rasa saling mempercayai antara dua orang atau lebih yang berada dalam satu
tempat yang sama. Jadi, kepercayaan merupakan syarat teknis bagi terjadinya
situasi pergaulan. Artinya, situasi pergaulan tidak akan terjadi apabila tidak
ada kepercayaan. Anak dan orang dewasa akan membentuk situasi pergaulan apabila
di antara keduanya saling mempercayai. Anak harus menaruh kepercayaaan bahwa
orang dewasa yang dihadapinya tidak akan menjerumuskan dan merugikan dirinya.
Anak harus dapat menaruh perhatian bahwa ia akan dapat mengambil banyak manfaat dengan membuka hubungan dengan orang
dewasa yang dihadapinya.
Sebaliknya,
orang dewasa pun harus memberikan kepercayaan kepada anak yang dihadapinya.
Orang dewasa percaya bahwa anak dapat berkembang atas kemampuannya sendiri,
dapat dipengaruhi, memiliki kemampuan sendiri, mau berusaha untuk berdiri
sendiri atas kemampuan sendiri dan sebagainya. Orang dewasa disamping
memberikan kepercayaan kepada anak, ia akan melindungi anak dalam situasi
pergaulan yang diciptakannya. Dengan demikian situasi pergaulan mengandung
macam perlindungan sehingga anak akan merasa aman dalam situasi tersebut.
Dalam
situasi pergaulan mengandung macam perlindungan sehingga anak akan merasa aman
dalam situasi tersebut. Perlindugan harus diberikan, karena jika tidak, momen
kepercayaan akan ditarik kembali oleh anak. Perlindungan tidak hanya menjaga
keselamatan anak, melainkan juga memberikan kesempatan pada anak untuk
mengembangkan potensi yang baik (susila) dan mencegah berkembangnya potensi
yang tidak baik (asusila). Misalnya anak yang terlihat melakukan perbuatan yang
sesuai dengan kesopanan dan aturan-aturan yang berlaku, biarkanlah ia terus
melakukan perbuatan tersebut, tapi bagi anak yang melakukan perbuatan yang
tidak sesuai dengan tata kesopanan segera ditegur dan diluruskan dengan
mengubah situasi pergaulan dengan situasi pendidikan.
Jadi,
dalam situasi pergaulan tidak ada pengertian bahwa anak dibiarkan untuk berbuat
sesuka kemauannya. Anak harus dilindungi dari semua bahaya, baik yang datang
dari luar maupun dari dalam, baik yang akan merusak fisiknya maupun jiwanya.
Orang dewasa menjaga, memperhatikan atau melindungi anak jasmani dan rohaninya
agar tidak terganggu. Perlindungan yang diberikan orang dewasa, juga berarti
bahwa anak diberi kesempatan untuk mengembangkan dirinya sendiri.
2. Situasi
Pendidikan
Situasi
pendidikan berlangsung dalam situasi pergaulan. Apabila dalam suatu pergaulan
antara orang dewasa dan anak didasarkan atas suatu tujuan pendidikan untuk
mencapai tujuan pendidikan, maka situasi pergaulan yang tercipta adalah situasi
pendidikan. Situasi yang timbul telah diisi dengan tindakan pendidikan dan
dengan demikian menjadikan situasi tersebut menjadi situasi pendidikan.
Situasi
pendidikan merupakan situasi yang istimewa, karena situasinya merupakan suatu
perubahan dari situasi pergaulan. Komponen-komponennya terdiri dari pendidik,
anak didik, tindakan pendidikan, atau alat pendidikan, dan kewibawaan. Dimana
komponen-komponen tersebut berubah dari orang dewasa atau orang tua menjadi
pendidik, anak menjadi anak didik, kemudian syarat teknisnya dari kepercayaan
menjadi kewibawaan namun mutlak harus ada. Situasi pendidikan merupakan situasi
pergaulan yang diciptakan dengan sengaja karena ada suatu tujuan pendidikan
yang ingin dicapai. Ada suatu nilai yang hendak disampaikan kepada anak sebagai
anak didik dari orang dewasa (orang tua, guru) sebagai pendidik.
Misalnya,
seorang ibu menyuruh anak perempuannya mencuci piring didasari oleh suatu
tujuan agar anaknya berdisiplin dan mandiri, hal itu merupakan situasi
pendidikan. Dalam hati ibu terbesit suatu tujuan: Aku harus mendidik anak saya
agar ia memiliki disiplin dalam kehidupan yang dihadapinya dan agar ia terbiasa
hidup mandiri tidak bergantung kepada orang lain. Akan tetapi, seandainya ibu
menyuruh anaknya mencuci piring sekadar untuk membantu pekerjaan ibunya
sehingga ibunya bisa santai dan tidak capek, situasi tersebut hanyalah merupakan situasi pergaulan biasa.
Seluruh
kegiatan dalam situasi pendidikan menunjukkan bahwa segala sesuatu yang
dilakukan pendidik, dilaksanakan dengan penuh kesadaran dan kewaspadaan. Didalam
situasi pendidikan tidak ada satu tindakan pun yang dilakukan dengan coba-coba
(trial and error-mencoba-coba dan
salah). Semua tindakan yang dilakukan direncanakan dan dipikirkan matang-matang
sebelumnya. Jadi, situasi pendidikan adalah suatu keadaan di mana terjadi
komunikasi interaktif antara orang dewasa dengan anak, antara orang tua
(ayah/ibu) dengan anaknya, antar guru dengan muridnya secara sengaja dan terencana
untuk mencapai tujuan pendidikan, yaitu manusia dewasa. Manusia dewasa menurut
UU No 20 Tahun 2003 adalah manusia Indonesia yang memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, mampu mengendalikan diri, berkepribadian, manusia yang cerdas,
memiliki akhlak mulia, serta memiliki keterampilan yang diperlukan bagi
dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
B.
Alat Pendidikan
Dalam pergaulan dilakukan tindakan tertentu dengan
sengaja dan sadar serta memiliki tujuan tertentu yang hendak dicapai. Tindakan
tertentu itulah yang disebut dengan alat pendidikan. Jadi dapat dijelaskan
bahwa alat pendidikan adalah suatu tindakan yang dilakukan dengan sengaja oleh
pendidik terhadap anak didik dengan maksud untuk mencapai tujuan yang
diharapkan oleh pendidik yang menggunakan alat pendidikan tersebut.
1.
Alat pendidikan dan Faktor
Pendidikan
Benih alat
pendidikan sudah ada dalam situasi pergaulan yang dinamakan faktor pendidikan.
Faktor pendidikan adalah semua benih kegiatan yang akan dipergunakan untuk
mendidik yang terdapat dalam situasi pergaulan. Seperti oleh orang dewasa yang
bergaul dengan anak, dapat memilih dengan leluasa apakah akan memberi nasihat,
petunjuk, teguran, sindiran, hukuma, ganjaran, pujian, dan sebagainya. Semua
tindakan tersebut sudah ada dalam situasi pergaulan yang disebut faktor
pendidikan.
Alat
pendidikan merupakan suatu tindakan atau perbuatan yang dengan sengaja diadakan
untuk mencapai suatu tujuan pendidikan yaitu kedewasaan. Apabila perbuatan
dalam situasi tersebut tidak sengaja untuk mencapai tujuan pendidikan maka
perbuatan tersebut disebut faktor pendidikan. Sebagai contoh, ibu menyuruh
anaknya mencuci piring dengan tujuan anak tersebut memiliki tanggungjawab dan
disiplin kerja, maka perbuatan tersebut adalah alat pendidikan. Di lain pihak,
seorang ibu menyuruh anaknya mencuci piring dengan tujuan hanya sekedar untuk
membantu meringangkan beban pekerjaan ibunya, maka perbuatan tersebut adalah
faktor pendidikan.
Jadi
disimpulkan bahwa jika suatu situasi diciptakan dengan maksud mempengaruhi
secara pedagogis, maka disebut alat pendidikan sedangkan dalam situasi
pergaulan, semua pengaruh yang orang dewasa berikan kepada anak didik disebut
faktor pendidikan. Langeveld mengelompokkan 5 jenis alat pendidikan yaitu :
a. Perlindungan
Perlindungan harus datang dari
pihak orang dewasa yang bertindak unuk melindungi peserta didik baik jasmani
maupun rohani, sehingga anak merasa terlindungi. Beberapa tindakan atau
perbuatan pendidikan yang dapat dilakukan berupa memerintah, membiarkan,
menghalangi atau melarang, menciptakan dan memelihara tata tertib.
b. Kesepahaman
Kesepahaman ini terjadi saat guru menjadi
contoh untuk peserta
didiknya, dengan
memperhatikan secara tidak langsung, anak akan meniru apa yang dilakukan
oleh gurunya.
Tapi tetap saja kesepahaman ini bisa terjadi jika anak sudah merasa aman jika
sedang bersama gurunya. Dari sinilah kita bisa melihat bahwa alat pendidikan
ini berhasil membawa anak untuk mengikuti apa yang dilakukan oleh
gurunya, tentu saja peniruan untuk melakukan kesepahaman ini haruslah bersifat
positif.
c. Kesamaan
arah dalam pikiran dan perbuatan
Kesamaan arah dalam pikiran dan perbuatan ini
ialah berupa tanggung jawab. Misalnya saat sedang bermain,
seorang guru hendaknya memberikan kepercayaan pada anak didiknya agar anak
didiknya mempunyai tanggung jawab dalam menyelesaikan semua tugasnya.
d. Perasaan
bersatu
Perasaan bersatu ini akan timbul karena
interaksi yang berlangsung antara pendidik dan peserta didik yang terus menerus.
Misalnya karena kebiasaan pendidik dan peserta didik yang selalu
bersama-sama setiap hari di sekolah dalam melewati
pelajaran itu akan membentuk kenyamanan pada diri anak yang membuat perasaan
bersatu itu muncul pada diri keduanya.
e. Pendidikan
karena kepentingan diri sendiri
Pedidikan karena kepentingan diri sendiri,
berarti pada
saat itu anak sudah menyadari dirinya mempunyai kesadaran bahwa dirinya
sudah mampu membentuk karakternya sendiri. Tugas seorang pendidik disini ialah
memberikan tanggung jawab sepenuhnya kepada anak didik untuk melaksanakan tugas
sesuai keinginan hatinya. Jadi alat pendidikan ini diberikan kepada anak pada tahap akhir
dari pendidikan, saat anak akan mencapai kedewasaannya.
2.
Kriteria menggunakan alat pendidikan
a. Tujuan pendidikan yang akan dicapai
Jika
seorang pendidik akan menggunakan alat pendidikan, maka ia harus tahu tujuan
pendidikan mana yang akan dicapai dengan tindakan tersebut. Misalnya ada
seorang anak yang berperilaku tidak sopan, maka guru harus secepatnya
mempertimbangkan alat pendidikan mana yang akan dilakukan. Guru sebagai
pendidik harus dengan cepat berpikir dan memutuskan pilihannya dengan tepat.
Persoalan tingkah laku merupakan masalah kesusilaan dengan demikian berkaitan
dengan kedewasaan. Dalam hal ini guru dapat menggunakan alat pendidikan berupa
nasihat dan teguran serta teladan yang baik sehingga tujuan yang ingin dicapai
dapat terwujud yaitu manusia yang tahu sopan santun.
b. Orang dewasa yang menggunakan alat
pendidikan
Penggunaan
alat pendidikan harus mempertimbangkan pendidik mana yang akan menggunakan alat
pendidikan tersebut, misalnya ayah, ibu, guru atau pengasuh di panti asuhan.
Seorang anak yang membuat kesalahan dan dinasihati oleh ayah kandungnya atau
ibu kandungnya akan lain perasaan dan pikirannya apabila dinasihati oleh ayah
tiri atau ibu tirinya. Sama halnya dengan seorang guru yang berwajah simpatik
akan memberikan pengaruh yang berbeda dibandingkan dengan seorang guru yang
dari pembawaannya kejam walaupun nasihat yang diucapkannya sama. Maka dapat
disimpulkan bahwa hasil suatu alat pendidikan bergantung pada siapa yang
bertindak menjadi pendidiknya dan siapa yang menggunakan alat tersebut.
c. Anak mana yang dikenai alat
pendidikan
Alat
pendidikan dikenakan kepada anak didik baik itu laki-laki, perempuan, anak
pemurung, periang, lincah, pendiam, seorang kanak-kanak, remaja dan sebagainya.
Jadi, dalam memilih alat pendidikan
harus memperhatikan jenis kelamin, watak, dan pembawaannya, latar belakang
kehidupannya, taraf perkembangan psikologi, dan kecerdasannya.
d. Bagaimana alat pendidikan itu
bekerja, memuaskan atau tidak
Seorang
guru yang telah memberikan teguran, nasihat, atau hukuman harus tetap
memperhatikan apakah alat pendidikan yang digunakan terhadap siswanya
benar-benar telah mencapai tujuannya. Jika ada perubahan tingkah laku berarti
alat pendidikan sudah mencapai tujuannya. Namun, bila tidak ada perubahan
tingkah laku, dapat dilanjutkan dengan teguran yang lebih keras bahkan mungkin
bisa diberikan alat pendidikan berupa hukuman. Efektif atau tidaknya penggunaan
alat pendidikan tergantung kepada kualitas pendidik itu sendiri mencakup
pegalaman pendidik, sifat kepribadiannya, taraf intelegensinya, dan pada
kemampuan pendidik itu sendiri untuk menjelma menjadi alat pendidikan.
C.
Jenis-Jenis Alat Pendidikan
1.
Pembiasaan
Pembiasaan merupakan alat
pendidikan yang penting, terutama bagi anak kecil. Anak kecil belum menyadari
apa yang dikatakan baik dan buruk dalam arti susila. Ia belum memiliki
kewajiban yang harus dikerjakan seperti orang dewasa, tetapi mereka sudah
memiliki hak seperti hak untuk dipelihara, hak perlindungan, hak mendapat
pendidikan. Pembiasaan merupakan tindakan awal yang dapat dilakukan dalam
pendidikan. Sejak dilahirkan anak dibiasakan dengan perbuatan-perbuatan baik,
seperti mandi dan tidur pada waktuya, diberi makan secara teratur, berbicara
sopan, belajar secara teratur dan sebagainya. Dalam perkembangan anak,
kebiasaan-kebiasaan baik tersebut harus tetap dipelihara dan dilaksanakan,
sehingga anak akan terbiasa dengan hal-hal yang baik.
Anak dapat menaati
peraturan-peraturan dengan jalan membiasakan perbuatan-perbuatan baik di rumah
dalam lingkungan keluarga, di lingkungan sekolah, dan di lingkungan masyarakat. Pembiasaan yang baik penting bagi
pembentukan watak anak dan akan berpengaruh bagi perkembangan anak selanjutnya.
Menanamkan kebiasaan pada diri anak memang tidak mudah, dan memerlukan waktu
lama, serta menuntut kesabaran pendidik.
Beberapa kriteria yang harus diperhatikan pendidik dalam menerapkan
pembiasaan seperti berikut:
a.
Mulai
pembiasaan sebelum terlambat, sebelum anak didik memiliki kebiasaan lain yang
berbeda/berlawanan dengan hal-hal yang akan dibiasakan.
b.
Pembiasaan
hendaknya dilakukan secara terus menerus, dilakukan secara teratur berencana
sehingga akhirnya menjadi suatu kebiasaan yang otomatis, untuk itu diperlukan
pengawasan.
c.
Pendidik
hendaknya konsekuen, bersikap tegas dan teguh dalam pendirian yang telah
diambilnya. Jangan memberi kesempatan kepada anak untuk mengingkari kebiasaan
yang telah dilakukannya.
d.
Pembiasaan
yang pada awalnya mekanistik, harus menjadi kebiasaan yang disertai dengan
kesadaran dan kata hati anak itu sendiri.
2.
Pengawasan
Telah dijelaskan bahwa pendidik
(orang tua, guru, dan yang lainnya) harus memperhatikan akibat pengaruh dari
alat pendidikan yang telah diberikan kepada anak didiknya, sejauh mana akibat
dari alat pendidikan itu memberikan dampak terhadap perkembangan kepribadian
anak didik. Jadi dalam hal ini diperlukan suatu pengawasan terhadap hasil dari
penggunaan alat pendidikan tersebut. Aturan-aturan yang berlaku di rumah atau
di sekolah, misalnya larangan dan kewajiban anak didik akan berjalan dengan
baik apabila disertai pengawasan secara terus menerus. Tanpa pengawasan dari
pendidik terhadap dampak penggunaan alat pendidikan berarti pendidik membiarkan
anak didik berbuat semaunya. Anak didik terutama pada usia kelompok bermain
misalnya belum dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, belum
memahami mana yang seharusnya dihindari dan mana yang boleh dilakukan. Pendidik
jangan membiarkan anak tumbuh menurut alamnya tanpa perhatian dan pengawasan
pendidik.
Dengan membiarkan anak,
kemungkinan anak akan bertindak semaunya, tidak patuh pada pendidik, terhadap
orang lain disekitarnya, yang lebih bahaya lagi anak tidak mengetahui arah
tujuan hidup. Pengawasan harus sesuai dengan taraf usia anak, anak yang masih
kecil tentu membutuhkan pengawasan, makin besar anak pengawasan berkurang, yang
pada akhirnya kalau anak sudah dewasa maka ia akan mengawasi dirinya sendiri.
3.
Perintah
Perintah dapat merupakan suatu
isyarat atau petunjuk yang diberikan seorang pendidik untuk melakukan sesuatu
atau untuk menaati suatu peraturan tertentu yang berlaku dalam lingkungannya.
Misalnya dalam keluarga ada aturan-aturan tertentu yang diberlakukan oleh orang
tua bagi anak-anaknya. Dalam hal ini orang tua ayah dan ibu memerintahkan
kepada anaknya untuk menaati aturan-aturan tersebut. Di sekolah guru dapat
memerintah untuk menaati peraturan-peraturan sekolah pada umumnya dan peraturan
kelas pada khususnya. Suatu perintah akan ditaati anak, apabila pendidik (orang
tua di rumah, guru di sekolah) itu sendiri tindakannya tidak bertentangan
dengan apa yang diperintahkannya. Jadi pendidik harus terlebih dahulu
menerapkan aturan-aturan moral itu pada dirinya, pendidik harus sudah
berperilaku sesuai dengan aturan-aturan yang diperintahkan kepada anak
didiknya. Dalam memberikan perintah ini ada beberapa syarat yang perlu
diperhatikan (Purwanto, 2004 dalam Sadulloh, 2017), yaitu:
a.
Perintah hendaknya jelas dan singkat, jangan
terlalu banyak komentaar, sehingga mudah dimengerti oleh anak.
b.
Perintah
hendaknya sesuai dengan tingkat usia anak, dan kesanggupannya.
c.
Kadang
kita perlu mengubah perintah menjadi suatu perintah yang lebih bersifat
permintaan, sehingga tidak terlalu keras kedengarannya.
d.
Jangan
terlalu sering dan berlebihan dalam memberi perintah, karena kemungkinan anak
akan bosan dan akhirnya tidak patuh.
e.
Pendidik
hendaknya konsekuen terhadap apa yang telah diperintahkannya.
f.
Suatu
perintah yang sifatnya mengajak dimana si pendidik turut berpartisipasi, pada
umumnya akan lebih ditaati oleh anak.
4.
Larangan
Larangan adalah suatu upaya untuk
melarang anak tidak boleh melakukan sesuatu. Perintah berkaitan dengan sesuatu
yang harus dilakukan oleh anak, karena kalau tidak dilakukan akan berakibat
tidak baik bagi anak, dan tujuan pendidikan tidak akan tercapai. Larangan berlawanan dengan perintah berkaitan
dengan sesuatu yang tidak boleh dilakukan oleh anak, karena bila dilakukan akan
berakibat tidak baik bagi anak dan akan menghambat tercapainya tujuan
pendidikan. Beberapa syarat yang
harus diperhatikan dalam melaksanakan larangan adalah sebagai berikut:
a.
Larangan
harus diberikan dengan singkat, jelas, dimengerti isi, dan maksud larangan
tersebut.
b.
Jangan
terlalu sering menggunakan larangan.
c.
Bagi
anak yang masih kecil, larangan dapat dialihkan kepada sesuatu yang lain, yang menarik
perhatian dan minat anak.
5.
Hukuman
Menghukum
menurut Langeveld (1980) adalah suatu perbuatan yang dengan sadar, sengaja
menyebabkan penderitaan bagi seseorang biasanya yang lebih lemah dan
dipercayakan kepada pendidik untuk dibimbing dan dilindungi, Hukuman tersebut
diberikan dengan maksud anak benar-benar merasakan penderitaan tersebut.
Hukuman diberikan karena anak berbuat kesalahan, anak melanggar suatu aturan
yang berlaku, sehingga dengan diberikannya hukuman, anak tidak akan mengulangi
kesalahan tersebut, dan hukuman diberikan sebagai suatu pembinaan bagi anak
untuk menjadi pribadi susila.
Hukuman
memang akan menimbulkan penderitaan bagi anak didik, karena itu hukuman harus
didasari oleh motif positif, yaitu untuk memperbaiki pribadi anak. Apabila
tidak dilandasi oleh motif positif untuk memperbaiki pribadi anak, hukuman akan
mengakibatkan kerugian pedagogis yang besar. Hukuman akan berhasil apabila
dalam diri anak timbul penyesalan terhadap kesalahan yang telah dilakukannya
dan ia tidak akan mengulangi perbuatan tersebut. Hukuman tidak boleh diberikan
karena balas dendam kepada anak, misalnya anak tidak memperhatikan pelajaran
dalam kelas, guru menghukumnya karena merasa dilecehkan oleh anak didiknya. Menurut Ahmadi dan Uhbiyati (2001)
dalam Sadulloh, 2017, tindakan yang pantas dan wajar adalah kurangi menghukum,
beri contoh yang baik serta anjuran untuk berbuat baik dalam membentuk kemauan
anak didik, sehingga tujuan anak tercapai karena hukuman bukan satu-satunya
alat pendidikan. Hukuman yang menimbulkan penderitaan bagi anak dikatakan wajar
apabila sama sekali tidak ada jalan lain, artinya dengan menggunakan alat
pendidikan yang lain tujuan akan tercapai.
Dalam melaksanakan hukuman ada beberapa teori yang mendasarinya yaitu
sebagai berikut:
a.
Teori
Pembalasan (Balas Dendam)
Hukuman diberikan sebagai balas
dendam terhadap anak, misalnya karena anak telah mengecewakan si pendidik,
misalnya guru merasa dilecehkan martabatnya.
b.
Teori
Ganti Rugi
Teori diberikan kepada anak karena
ada kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatannya, misalnya anak bermain-main di
dalam kelas sehingga vas bunga yang berada di meja guru jatuh dan pecah. Guru
memberikan hukuman kepada anak yang bermain sehingga vas bunga pecah dengan
mengharuskan mengganti vas bunga tersebut dengan menyerahkan uang seharga vas
bunga tersebut.
c.
Teori
Perbaikan
Hukuman diberikan agar anak dapat
memperbaiki dan tidak mengulangi kesalahannya. Alat pendidikan yang dapat
dipergunakan misalnya, dengan memberi teguran, menasihati, memberikan
pengertian, sehingga anak sadar akan kesalahannya daan tidak akan
mengulanginya.
d.
Teori
Menakut-nakuti
Teori ini
diberikan agar anak didik merasa takut untuk mengulangi perbuatannya,
kesalahannya, sehingga ia tidak akan melakukan perbuatan tersebut dan akan
meninggalkannya. Cara menakut-nakuti biasanya
dengan ancaman, dan ancaman ini oleh anak mungkin dapat dianggap sebagai
hukuman karena bisa menimbulkan penderitaan.
e.
Teori
Menjerakan
Teori ini dilaksanakan dengan tujuan
agar anak setelah menjalani hukuman merasa jera terhadap hukuman yang
ditimpakan kepadanya, sehingga ia tidak akan melakukan kembali perbuatannya
atau mengulangi kesalahan yang sama yang telah dilakukannya.
Demikian berbagai teori hukuman
yang mungkin dapat dijadikan pertimbangan bagi para pendidik dalam mendidik
anak didiknya. Teori balas dendam seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang
pendidik, karena lebih mementingkan harga diri pendidik dan menunjukkan
ketidakmatangan emosi pendidik. Teori perbaikan mungkin yang lebih baik, karena
dilakukan melalui tahapan-tahapan seperti peringatan, teguran, nasihat, dan
sebagainya.
A.
Situasi
Pergaulan dan Situasi Pendidikan
Pergaulan merupakan dua orang atau lebih
bersama-sama mengadakan hubungan antara sesamanya. Hubungan antara orang dewasa
dengan anak yang belum dewasa kemungkinan membentuk dua situasi yaitu situasi
pergaulan dan situasi pendidikan.
1. Situasi
Pergaulan
Pergaulan
adalah proses interaksi yang dilakukan oleh individu dengan individu yang lain
maupun dengan kelompok. Seperti yang dikemukakan oleh Aristoteles bahwa manusia
sebagai makhluk sosial (zoon-politicon) yang artinya manusia sebagai makhluk
sosial yang tak lepas dari kebersamaan dengan manusia lain. Pergaulan mempunyai
pengaruh yang besar dalam pembentukan kepribadian individu. Jika dalam suatu
pergaulan antara orang dewasa dengan anak didasarkan atas niat untuk memuaskan
keinginan orang dewasa dan tidak didasarkan untuk mencapai tujuan pendidikan,
maka situasi yang tercipta bukan situasi pendidikan melalainkan situasi
pergaulan.
Misalnya, seorang guru/pendidik menawarkan buku pelajaran
kepada murid-muridnya dengan tujuan mendapatkan keutungan dari hasil penjualan
buku berupa komisi dari penerbit, maka tindakan tersebut tidak bisa digolongkan
kepada situasi pendidikan walaupun terjadi di lingkungan sekolah (kelas). Hal
tersebut hanyalah merupakan situasi pergaulan biasa, bukan situasi pendidikan. Situasi
yang berisi tindakan bukan pendidikan tidak akan menciptakan situasi pendidikan
melainkan tetap situasi pergaulan.
Dalam situasi pergaulan anak memperoleh kesempatan untuk
menjadi dirinya serta mengekspresikan apa yang yang dihayatinya. Anak dapat
mengungkapkan dengan bebas dan spontan semua pikiran, perasaan maupun kemauan
yang dihayatinya. Dengan adanya kesempatan untuk bertindak dan bertingkah laku
seperti yang ia inginkan, anak dapat mengembangkan bentuk kepribadiannya
sendiri. Keinginan tersebut dapat diperoleh anak dalam pergaulan.
Oleh
karena itu, selama anak tidak melanggar norma atau nilai-nilai pedagogis,
sebaiknya ia diberikan kebebasan seluas-luasnya untuk bergerak dan berbuat
sesuatu. Biarkan anak merasakan kehidupannya sebagai anak. Situasi pergaulan
yang sifatnya wajar dan alamiah memberikan kesempatan kepada anak untuk
menyerap dan mencerna semua pengalaman sesuai pilihan kesukaannya tanpa merasa
ada paksaan. Apabila sikap, ucap, dan perbuatan yang diserap dan dicerna anak
adalah sikap, ucap, dan perbuatan yang baik sesuai dengan norma-norma susila,
maka akibatnya perkembangan anak akan baik begitu pula sebaliknya. Karena itu
orang tua dan pendidik harus memperhatikan situasi pergaulan bukan hanya
sebagai suatu “suasana” yang dapat memberikan pengaruh, melainkan karena
lamanya anak berada dalam situasi pergaulan dibandingkan dalam situasi
pendidikan.
·
Mengapa situasi pergaulan bisa
terjadi?
Situasi
pergaulan akan terjadi apabila ada
rasa saling mempercayai antara dua orang atau lebih yang berada dalam satu
tempat yang sama. Jadi, kepercayaan merupakan syarat teknis bagi terjadinya
situasi pergaulan. Artinya, situasi pergaulan tidak akan terjadi apabila tidak
ada kepercayaan. Anak dan orang dewasa akan membentuk situasi pergaulan apabila
di antara keduanya saling mempercayai. Anak harus menaruh kepercayaaan bahwa
orang dewasa yang dihadapinya tidak akan menjerumuskan dan merugikan dirinya.
Anak harus dapat menaruh perhatian bahwa ia akan dapat mengambil banyak manfaat dengan membuka hubungan dengan orang
dewasa yang dihadapinya.
Sebaliknya,
orang dewasa pun harus memberikan kepercayaan kepada anak yang dihadapinya.
Orang dewasa percaya bahwa anak dapat berkembang atas kemampuannya sendiri,
dapat dipengaruhi, memiliki kemampuan sendiri, mau berusaha untuk berdiri
sendiri atas kemampuan sendiri dan sebagainya. Orang dewasa disamping
memberikan kepercayaan kepada anak, ia akan melindungi anak dalam situasi
pergaulan yang diciptakannya. Dengan demikian situasi pergaulan mengandung
macam perlindungan sehingga anak akan merasa aman dalam situasi tersebut.
Dalam
situasi pergaulan mengandung macam perlindungan sehingga anak akan merasa aman
dalam situasi tersebut. Perlindugan harus diberikan, karena jika tidak, momen
kepercayaan akan ditarik kembali oleh anak. Perlindungan tidak hanya menjaga
keselamatan anak, melainkan juga memberikan kesempatan pada anak untuk
mengembangkan potensi yang baik (susila) dan mencegah berkembangnya potensi
yang tidak baik (asusila). Misalnya anak yang terlihat melakukan perbuatan yang
sesuai dengan kesopanan dan aturan-aturan yang berlaku, biarkanlah ia terus
melakukan perbuatan tersebut, tapi bagi anak yang melakukan perbuatan yang
tidak sesuai dengan tata kesopanan segera ditegur dan diluruskan dengan
mengubah situasi pergaulan dengan situasi pendidikan.
Jadi,
dalam situasi pergaulan tidak ada pengertian bahwa anak dibiarkan untuk berbuat
sesuka kemauannya. Anak harus dilindungi dari semua bahaya, baik yang datang
dari luar maupun dari dalam, baik yang akan merusak fisiknya maupun jiwanya.
Orang dewasa menjaga, memperhatikan atau melindungi anak jasmani dan rohaninya
agar tidak terganggu. Perlindungan yang diberikan orang dewasa, juga berarti
bahwa anak diberi kesempatan untuk mengembangkan dirinya sendiri.
2. Situasi
Pendidikan
Situasi
pendidikan berlangsung dalam situasi pergaulan. Apabila dalam suatu pergaulan
antara orang dewasa dan anak didasarkan atas suatu tujuan pendidikan untuk
mencapai tujuan pendidikan, maka situasi pergaulan yang tercipta adalah situasi
pendidikan. Situasi yang timbul telah diisi dengan tindakan pendidikan dan
dengan demikian menjadikan situasi tersebut menjadi situasi pendidikan.
Situasi
pendidikan merupakan situasi yang istimewa, karena situasinya merupakan suatu
perubahan dari situasi pergaulan. Komponen-komponennya terdiri dari pendidik,
anak didik, tindakan pendidikan, atau alat pendidikan, dan kewibawaan. Dimana
komponen-komponen tersebut berubah dari orang dewasa atau orang tua menjadi
pendidik, anak menjadi anak didik, kemudian syarat teknisnya dari kepercayaan
menjadi kewibawaan namun mutlak harus ada. Situasi pendidikan merupakan situasi
pergaulan yang diciptakan dengan sengaja karena ada suatu tujuan pendidikan
yang ingin dicapai. Ada suatu nilai yang hendak disampaikan kepada anak sebagai
anak didik dari orang dewasa (orang tua, guru) sebagai pendidik.
Misalnya,
seorang ibu menyuruh anak perempuannya mencuci piring didasari oleh suatu
tujuan agar anaknya berdisiplin dan mandiri, hal itu merupakan situasi
pendidikan. Dalam hati ibu terbesit suatu tujuan: Aku harus mendidik anak saya
agar ia memiliki disiplin dalam kehidupan yang dihadapinya dan agar ia terbiasa
hidup mandiri tidak bergantung kepada orang lain. Akan tetapi, seandainya ibu
menyuruh anaknya mencuci piring sekadar untuk membantu pekerjaan ibunya
sehingga ibunya bisa santai dan tidak capek, situasi tersebut hanyalah merupakan situasi pergaulan biasa.
Seluruh
kegiatan dalam situasi pendidikan menunjukkan bahwa segala sesuatu yang
dilakukan pendidik, dilaksanakan dengan penuh kesadaran dan kewaspadaan. Didalam
situasi pendidikan tidak ada satu tindakan pun yang dilakukan dengan coba-coba
(trial and error-mencoba-coba dan
salah). Semua tindakan yang dilakukan direncanakan dan dipikirkan matang-matang
sebelumnya. Jadi, situasi pendidikan adalah suatu keadaan di mana terjadi
komunikasi interaktif antara orang dewasa dengan anak, antara orang tua
(ayah/ibu) dengan anaknya, antar guru dengan muridnya secara sengaja dan terencana
untuk mencapai tujuan pendidikan, yaitu manusia dewasa. Manusia dewasa menurut
UU No 20 Tahun 2003 adalah manusia Indonesia yang memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, mampu mengendalikan diri, berkepribadian, manusia yang cerdas,
memiliki akhlak mulia, serta memiliki keterampilan yang diperlukan bagi
dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
B.
Alat Pendidikan
Dalam pergaulan dilakukan tindakan tertentu dengan
sengaja dan sadar serta memiliki tujuan tertentu yang hendak dicapai. Tindakan
tertentu itulah yang disebut dengan alat pendidikan. Jadi dapat dijelaskan
bahwa alat pendidikan adalah suatu tindakan yang dilakukan dengan sengaja oleh
pendidik terhadap anak didik dengan maksud untuk mencapai tujuan yang
diharapkan oleh pendidik yang menggunakan alat pendidikan tersebut.
1.
Alat pendidikan dan Faktor
Pendidikan
Benih alat
pendidikan sudah ada dalam situasi pergaulan yang dinamakan faktor pendidikan.
Faktor pendidikan adalah semua benih kegiatan yang akan dipergunakan untuk
mendidik yang terdapat dalam situasi pergaulan. Seperti oleh orang dewasa yang
bergaul dengan anak, dapat memilih dengan leluasa apakah akan memberi nasihat,
petunjuk, teguran, sindiran, hukuma, ganjaran, pujian, dan sebagainya. Semua
tindakan tersebut sudah ada dalam situasi pergaulan yang disebut faktor
pendidikan.
Alat
pendidikan merupakan suatu tindakan atau perbuatan yang dengan sengaja diadakan
untuk mencapai suatu tujuan pendidikan yaitu kedewasaan. Apabila perbuatan
dalam situasi tersebut tidak sengaja untuk mencapai tujuan pendidikan maka
perbuatan tersebut disebut faktor pendidikan. Sebagai contoh, ibu menyuruh
anaknya mencuci piring dengan tujuan anak tersebut memiliki tanggungjawab dan
disiplin kerja, maka perbuatan tersebut adalah alat pendidikan. Di lain pihak,
seorang ibu menyuruh anaknya mencuci piring dengan tujuan hanya sekedar untuk
membantu meringangkan beban pekerjaan ibunya, maka perbuatan tersebut adalah
faktor pendidikan.
Jadi
disimpulkan bahwa jika suatu situasi diciptakan dengan maksud mempengaruhi
secara pedagogis, maka disebut alat pendidikan sedangkan dalam situasi
pergaulan, semua pengaruh yang orang dewasa berikan kepada anak didik disebut
faktor pendidikan. Langeveld mengelompokkan 5 jenis alat pendidikan yaitu :
a. Perlindungan
Perlindungan harus datang dari
pihak orang dewasa yang bertindak unuk melindungi peserta didik baik jasmani
maupun rohani, sehingga anak merasa terlindungi. Beberapa tindakan atau
perbuatan pendidikan yang dapat dilakukan berupa memerintah, membiarkan,
menghalangi atau melarang, menciptakan dan memelihara tata tertib.
b. Kesepahaman
Kesepahaman ini terjadi saat guru menjadi
contoh untuk peserta
didiknya, dengan
memperhatikan secara tidak langsung, anak akan meniru apa yang dilakukan
oleh gurunya.
Tapi tetap saja kesepahaman ini bisa terjadi jika anak sudah merasa aman jika
sedang bersama gurunya. Dari sinilah kita bisa melihat bahwa alat pendidikan
ini berhasil membawa anak untuk mengikuti apa yang dilakukan oleh
gurunya, tentu saja peniruan untuk melakukan kesepahaman ini haruslah bersifat
positif.
c. Kesamaan
arah dalam pikiran dan perbuatan
Kesamaan arah dalam pikiran dan perbuatan ini
ialah berupa tanggung jawab. Misalnya saat sedang bermain,
seorang guru hendaknya memberikan kepercayaan pada anak didiknya agar anak
didiknya mempunyai tanggung jawab dalam menyelesaikan semua tugasnya.
d. Perasaan
bersatu
Perasaan bersatu ini akan timbul karena
interaksi yang berlangsung antara pendidik dan peserta didik yang terus menerus.
Misalnya karena kebiasaan pendidik dan peserta didik yang selalu
bersama-sama setiap hari di sekolah dalam melewati
pelajaran itu akan membentuk kenyamanan pada diri anak yang membuat perasaan
bersatu itu muncul pada diri keduanya.
e. Pendidikan
karena kepentingan diri sendiri
Pedidikan karena kepentingan diri sendiri,
berarti pada
saat itu anak sudah menyadari dirinya mempunyai kesadaran bahwa dirinya
sudah mampu membentuk karakternya sendiri. Tugas seorang pendidik disini ialah
memberikan tanggung jawab sepenuhnya kepada anak didik untuk melaksanakan tugas
sesuai keinginan hatinya. Jadi alat pendidikan ini diberikan kepada anak pada tahap akhir
dari pendidikan, saat anak akan mencapai kedewasaannya.
2.
Kriteria menggunakan alat pendidikan
a. Tujuan pendidikan yang akan dicapai
Jika
seorang pendidik akan menggunakan alat pendidikan, maka ia harus tahu tujuan
pendidikan mana yang akan dicapai dengan tindakan tersebut. Misalnya ada
seorang anak yang berperilaku tidak sopan, maka guru harus secepatnya
mempertimbangkan alat pendidikan mana yang akan dilakukan. Guru sebagai
pendidik harus dengan cepat berpikir dan memutuskan pilihannya dengan tepat.
Persoalan tingkah laku merupakan masalah kesusilaan dengan demikian berkaitan
dengan kedewasaan. Dalam hal ini guru dapat menggunakan alat pendidikan berupa
nasihat dan teguran serta teladan yang baik sehingga tujuan yang ingin dicapai
dapat terwujud yaitu manusia yang tahu sopan santun.
b. Orang dewasa yang menggunakan alat
pendidikan
Penggunaan
alat pendidikan harus mempertimbangkan pendidik mana yang akan menggunakan alat
pendidikan tersebut, misalnya ayah, ibu, guru atau pengasuh di panti asuhan.
Seorang anak yang membuat kesalahan dan dinasihati oleh ayah kandungnya atau
ibu kandungnya akan lain perasaan dan pikirannya apabila dinasihati oleh ayah
tiri atau ibu tirinya. Sama halnya dengan seorang guru yang berwajah simpatik
akan memberikan pengaruh yang berbeda dibandingkan dengan seorang guru yang
dari pembawaannya kejam walaupun nasihat yang diucapkannya sama. Maka dapat
disimpulkan bahwa hasil suatu alat pendidikan bergantung pada siapa yang
bertindak menjadi pendidiknya dan siapa yang menggunakan alat tersebut.
c. Anak mana yang dikenai alat
pendidikan
Alat
pendidikan dikenakan kepada anak didik baik itu laki-laki, perempuan, anak
pemurung, periang, lincah, pendiam, seorang kanak-kanak, remaja dan sebagainya.
Jadi, dalam memilih alat pendidikan
harus memperhatikan jenis kelamin, watak, dan pembawaannya, latar belakang
kehidupannya, taraf perkembangan psikologi, dan kecerdasannya.
d. Bagaimana alat pendidikan itu
bekerja, memuaskan atau tidak
Seorang
guru yang telah memberikan teguran, nasihat, atau hukuman harus tetap
memperhatikan apakah alat pendidikan yang digunakan terhadap siswanya
benar-benar telah mencapai tujuannya. Jika ada perubahan tingkah laku berarti
alat pendidikan sudah mencapai tujuannya. Namun, bila tidak ada perubahan
tingkah laku, dapat dilanjutkan dengan teguran yang lebih keras bahkan mungkin
bisa diberikan alat pendidikan berupa hukuman. Efektif atau tidaknya penggunaan
alat pendidikan tergantung kepada kualitas pendidik itu sendiri mencakup
pegalaman pendidik, sifat kepribadiannya, taraf intelegensinya, dan pada
kemampuan pendidik itu sendiri untuk menjelma menjadi alat pendidikan.
C.
Jenis-Jenis Alat Pendidikan
1.
Pembiasaan
Pembiasaan merupakan alat
pendidikan yang penting, terutama bagi anak kecil. Anak kecil belum menyadari
apa yang dikatakan baik dan buruk dalam arti susila. Ia belum memiliki
kewajiban yang harus dikerjakan seperti orang dewasa, tetapi mereka sudah
memiliki hak seperti hak untuk dipelihara, hak perlindungan, hak mendapat
pendidikan. Pembiasaan merupakan tindakan awal yang dapat dilakukan dalam
pendidikan. Sejak dilahirkan anak dibiasakan dengan perbuatan-perbuatan baik,
seperti mandi dan tidur pada waktuya, diberi makan secara teratur, berbicara
sopan, belajar secara teratur dan sebagainya. Dalam perkembangan anak,
kebiasaan-kebiasaan baik tersebut harus tetap dipelihara dan dilaksanakan,
sehingga anak akan terbiasa dengan hal-hal yang baik.
Anak dapat menaati
peraturan-peraturan dengan jalan membiasakan perbuatan-perbuatan baik di rumah
dalam lingkungan keluarga, di lingkungan sekolah, dan di lingkungan masyarakat. Pembiasaan yang baik penting bagi
pembentukan watak anak dan akan berpengaruh bagi perkembangan anak selanjutnya.
Menanamkan kebiasaan pada diri anak memang tidak mudah, dan memerlukan waktu
lama, serta menuntut kesabaran pendidik.
Beberapa kriteria yang harus diperhatikan pendidik dalam menerapkan
pembiasaan seperti berikut:
a.
Mulai
pembiasaan sebelum terlambat, sebelum anak didik memiliki kebiasaan lain yang
berbeda/berlawanan dengan hal-hal yang akan dibiasakan.
b.
Pembiasaan
hendaknya dilakukan secara terus menerus, dilakukan secara teratur berencana
sehingga akhirnya menjadi suatu kebiasaan yang otomatis, untuk itu diperlukan
pengawasan.
c.
Pendidik
hendaknya konsekuen, bersikap tegas dan teguh dalam pendirian yang telah
diambilnya. Jangan memberi kesempatan kepada anak untuk mengingkari kebiasaan
yang telah dilakukannya.
d.
Pembiasaan
yang pada awalnya mekanistik, harus menjadi kebiasaan yang disertai dengan
kesadaran dan kata hati anak itu sendiri.
2.
Pengawasan
Telah dijelaskan bahwa pendidik
(orang tua, guru, dan yang lainnya) harus memperhatikan akibat pengaruh dari
alat pendidikan yang telah diberikan kepada anak didiknya, sejauh mana akibat
dari alat pendidikan itu memberikan dampak terhadap perkembangan kepribadian
anak didik. Jadi dalam hal ini diperlukan suatu pengawasan terhadap hasil dari
penggunaan alat pendidikan tersebut. Aturan-aturan yang berlaku di rumah atau
di sekolah, misalnya larangan dan kewajiban anak didik akan berjalan dengan
baik apabila disertai pengawasan secara terus menerus. Tanpa pengawasan dari
pendidik terhadap dampak penggunaan alat pendidikan berarti pendidik membiarkan
anak didik berbuat semaunya. Anak didik terutama pada usia kelompok bermain
misalnya belum dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, belum
memahami mana yang seharusnya dihindari dan mana yang boleh dilakukan. Pendidik
jangan membiarkan anak tumbuh menurut alamnya tanpa perhatian dan pengawasan
pendidik.
Dengan membiarkan anak,
kemungkinan anak akan bertindak semaunya, tidak patuh pada pendidik, terhadap
orang lain disekitarnya, yang lebih bahaya lagi anak tidak mengetahui arah
tujuan hidup. Pengawasan harus sesuai dengan taraf usia anak, anak yang masih
kecil tentu membutuhkan pengawasan, makin besar anak pengawasan berkurang, yang
pada akhirnya kalau anak sudah dewasa maka ia akan mengawasi dirinya sendiri.
3.
Perintah
Perintah dapat merupakan suatu
isyarat atau petunjuk yang diberikan seorang pendidik untuk melakukan sesuatu
atau untuk menaati suatu peraturan tertentu yang berlaku dalam lingkungannya.
Misalnya dalam keluarga ada aturan-aturan tertentu yang diberlakukan oleh orang
tua bagi anak-anaknya. Dalam hal ini orang tua ayah dan ibu memerintahkan
kepada anaknya untuk menaati aturan-aturan tersebut. Di sekolah guru dapat
memerintah untuk menaati peraturan-peraturan sekolah pada umumnya dan peraturan
kelas pada khususnya. Suatu perintah akan ditaati anak, apabila pendidik (orang
tua di rumah, guru di sekolah) itu sendiri tindakannya tidak bertentangan
dengan apa yang diperintahkannya. Jadi pendidik harus terlebih dahulu
menerapkan aturan-aturan moral itu pada dirinya, pendidik harus sudah
berperilaku sesuai dengan aturan-aturan yang diperintahkan kepada anak
didiknya. Dalam memberikan perintah ini ada beberapa syarat yang perlu
diperhatikan (Purwanto, 2004 dalam Sadulloh, 2017), yaitu:
a.
Perintah hendaknya jelas dan singkat, jangan
terlalu banyak komentaar, sehingga mudah dimengerti oleh anak.
b.
Perintah
hendaknya sesuai dengan tingkat usia anak, dan kesanggupannya.
c.
Kadang
kita perlu mengubah perintah menjadi suatu perintah yang lebih bersifat
permintaan, sehingga tidak terlalu keras kedengarannya.
d.
Jangan
terlalu sering dan berlebihan dalam memberi perintah, karena kemungkinan anak
akan bosan dan akhirnya tidak patuh.
e.
Pendidik
hendaknya konsekuen terhadap apa yang telah diperintahkannya.
f.
Suatu
perintah yang sifatnya mengajak dimana si pendidik turut berpartisipasi, pada
umumnya akan lebih ditaati oleh anak.
4.
Larangan
Larangan adalah suatu upaya untuk
melarang anak tidak boleh melakukan sesuatu. Perintah berkaitan dengan sesuatu
yang harus dilakukan oleh anak, karena kalau tidak dilakukan akan berakibat
tidak baik bagi anak, dan tujuan pendidikan tidak akan tercapai. Larangan berlawanan dengan perintah berkaitan
dengan sesuatu yang tidak boleh dilakukan oleh anak, karena bila dilakukan akan
berakibat tidak baik bagi anak dan akan menghambat tercapainya tujuan
pendidikan. Beberapa syarat yang
harus diperhatikan dalam melaksanakan larangan adalah sebagai berikut:
a.
Larangan
harus diberikan dengan singkat, jelas, dimengerti isi, dan maksud larangan
tersebut.
b.
Jangan
terlalu sering menggunakan larangan.
c.
Bagi
anak yang masih kecil, larangan dapat dialihkan kepada sesuatu yang lain, yang menarik
perhatian dan minat anak.
5.
Hukuman
Menghukum
menurut Langeveld (1980) adalah suatu perbuatan yang dengan sadar, sengaja
menyebabkan penderitaan bagi seseorang biasanya yang lebih lemah dan
dipercayakan kepada pendidik untuk dibimbing dan dilindungi, Hukuman tersebut
diberikan dengan maksud anak benar-benar merasakan penderitaan tersebut.
Hukuman diberikan karena anak berbuat kesalahan, anak melanggar suatu aturan
yang berlaku, sehingga dengan diberikannya hukuman, anak tidak akan mengulangi
kesalahan tersebut, dan hukuman diberikan sebagai suatu pembinaan bagi anak
untuk menjadi pribadi susila.
Hukuman
memang akan menimbulkan penderitaan bagi anak didik, karena itu hukuman harus
didasari oleh motif positif, yaitu untuk memperbaiki pribadi anak. Apabila
tidak dilandasi oleh motif positif untuk memperbaiki pribadi anak, hukuman akan
mengakibatkan kerugian pedagogis yang besar. Hukuman akan berhasil apabila
dalam diri anak timbul penyesalan terhadap kesalahan yang telah dilakukannya
dan ia tidak akan mengulangi perbuatan tersebut. Hukuman tidak boleh diberikan
karena balas dendam kepada anak, misalnya anak tidak memperhatikan pelajaran
dalam kelas, guru menghukumnya karena merasa dilecehkan oleh anak didiknya. Menurut Ahmadi dan Uhbiyati (2001)
dalam Sadulloh, 2017, tindakan yang pantas dan wajar adalah kurangi menghukum,
beri contoh yang baik serta anjuran untuk berbuat baik dalam membentuk kemauan
anak didik, sehingga tujuan anak tercapai karena hukuman bukan satu-satunya
alat pendidikan. Hukuman yang menimbulkan penderitaan bagi anak dikatakan wajar
apabila sama sekali tidak ada jalan lain, artinya dengan menggunakan alat
pendidikan yang lain tujuan akan tercapai.
Dalam melaksanakan hukuman ada beberapa teori yang mendasarinya yaitu
sebagai berikut:
a.
Teori
Pembalasan (Balas Dendam)
Hukuman diberikan sebagai balas
dendam terhadap anak, misalnya karena anak telah mengecewakan si pendidik,
misalnya guru merasa dilecehkan martabatnya.
b.
Teori
Ganti Rugi
Teori diberikan kepada anak karena
ada kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatannya, misalnya anak bermain-main di
dalam kelas sehingga vas bunga yang berada di meja guru jatuh dan pecah. Guru
memberikan hukuman kepada anak yang bermain sehingga vas bunga pecah dengan
mengharuskan mengganti vas bunga tersebut dengan menyerahkan uang seharga vas
bunga tersebut.
c.
Teori
Perbaikan
Hukuman diberikan agar anak dapat
memperbaiki dan tidak mengulangi kesalahannya. Alat pendidikan yang dapat
dipergunakan misalnya, dengan memberi teguran, menasihati, memberikan
pengertian, sehingga anak sadar akan kesalahannya daan tidak akan
mengulanginya.
d.
Teori
Menakut-nakuti
Teori ini
diberikan agar anak didik merasa takut untuk mengulangi perbuatannya,
kesalahannya, sehingga ia tidak akan melakukan perbuatan tersebut dan akan
meninggalkannya. Cara menakut-nakuti biasanya
dengan ancaman, dan ancaman ini oleh anak mungkin dapat dianggap sebagai
hukuman karena bisa menimbulkan penderitaan.
e.
Teori
Menjerakan
Teori ini dilaksanakan dengan tujuan
agar anak setelah menjalani hukuman merasa jera terhadap hukuman yang
ditimpakan kepadanya, sehingga ia tidak akan melakukan kembali perbuatannya
atau mengulangi kesalahan yang sama yang telah dilakukannya.
Demikian berbagai teori hukuman
yang mungkin dapat dijadikan pertimbangan bagi para pendidik dalam mendidik
anak didiknya. Teori balas dendam seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang
pendidik, karena lebih mementingkan harga diri pendidik dan menunjukkan
ketidakmatangan emosi pendidik. Teori perbaikan mungkin yang lebih baik, karena
dilakukan melalui tahapan-tahapan seperti peringatan, teguran, nasihat, dan
sebagainya.
No comments:
Post a Comment