Wednesday, October 25, 2017

MAKALAH SITUASI PERGAULAN DAN SITUASI PENDIDIKAN SERTA ALAT PENDIDIKAN


MAKALAH SITUASI PERGAULAN DAN SITUASI PENDIDIKAN SERTA ALAT PENDIDIKAN
Dari buku Uyo Sadulloh dengan pengubahan
A.    Situasi Pergaulan dan Situasi Pendidikan
Pergaulan merupakan dua orang atau lebih bersama-sama mengadakan hubungan antara sesamanya. Hubungan antara orang dewasa dengan anak yang belum dewasa kemungkinan membentuk dua situasi yaitu situasi pergaulan dan situasi pendidikan.
1.      Situasi Pergaulan
Pergaulan adalah proses interaksi yang dilakukan oleh individu dengan individu yang lain maupun dengan kelompok. Seperti yang dikemukakan oleh Aristoteles bahwa manusia sebagai makhluk sosial (zoon-politicon) yang artinya manusia sebagai makhluk sosial yang tak lepas dari kebersamaan dengan manusia lain. Pergaulan mempunyai pengaruh yang besar dalam pembentukan kepribadian individu. Jika dalam suatu pergaulan antara orang dewasa dengan anak didasarkan atas niat untuk memuaskan keinginan orang dewasa dan tidak didasarkan untuk mencapai tujuan pendidikan, maka situasi yang tercipta bukan situasi pendidikan melalainkan situasi pergaulan.
Misalnya, seorang guru/pendidik menawarkan buku pelajaran kepada murid-muridnya dengan tujuan mendapatkan keutungan dari hasil penjualan buku berupa komisi dari penerbit, maka tindakan tersebut tidak bisa digolongkan kepada situasi pendidikan walaupun terjadi di lingkungan sekolah (kelas). Hal tersebut hanyalah merupakan situasi pergaulan biasa, bukan situasi pendidikan. Situasi yang berisi tindakan bukan pendidikan tidak akan menciptakan situasi pendidikan melainkan tetap situasi pergaulan.
Dalam situasi pergaulan anak memperoleh kesempatan untuk menjadi dirinya serta mengekspresikan apa yang yang dihayatinya. Anak dapat mengungkapkan dengan bebas dan spontan semua pikiran, perasaan maupun kemauan yang dihayatinya. Dengan adanya kesempatan untuk bertindak dan bertingkah laku seperti yang ia inginkan, anak dapat mengembangkan bentuk kepribadiannya sendiri. Keinginan tersebut dapat diperoleh anak dalam pergaulan.
Oleh karena itu, selama anak tidak melanggar norma atau nilai-nilai pedagogis, sebaiknya ia diberikan kebebasan seluas-luasnya untuk bergerak dan berbuat sesuatu. Biarkan anak merasakan kehidupannya sebagai anak. Situasi pergaulan yang sifatnya wajar dan alamiah memberikan kesempatan kepada anak untuk menyerap dan mencerna semua pengalaman sesuai pilihan kesukaannya tanpa merasa ada paksaan. Apabila sikap, ucap, dan perbuatan yang diserap dan dicerna anak adalah sikap, ucap, dan perbuatan yang baik sesuai dengan norma-norma susila, maka akibatnya perkembangan anak akan baik begitu pula sebaliknya. Karena itu orang tua dan pendidik harus memperhatikan situasi pergaulan bukan hanya sebagai suatu “suasana” yang dapat memberikan pengaruh, melainkan karena lamanya anak berada dalam situasi pergaulan dibandingkan dalam situasi pendidikan.
·         Mengapa situasi pergaulan bisa terjadi?
Situasi pergaulan akan terjadi apabila ada rasa saling mempercayai antara dua orang atau lebih yang berada dalam satu tempat yang sama. Jadi, kepercayaan merupakan syarat teknis bagi terjadinya situasi pergaulan. Artinya, situasi pergaulan tidak akan terjadi apabila tidak ada kepercayaan. Anak dan orang dewasa akan membentuk situasi pergaulan apabila di antara keduanya saling mempercayai. Anak harus menaruh kepercayaaan bahwa orang dewasa yang dihadapinya tidak akan menjerumuskan dan merugikan dirinya. Anak harus dapat menaruh perhatian bahwa ia akan dapat mengambil banyak  manfaat dengan membuka hubungan dengan orang dewasa yang dihadapinya.
Sebaliknya, orang dewasa pun harus memberikan kepercayaan kepada anak yang dihadapinya. Orang dewasa percaya bahwa anak dapat berkembang atas kemampuannya sendiri, dapat dipengaruhi, memiliki kemampuan sendiri, mau berusaha untuk berdiri sendiri atas kemampuan sendiri dan sebagainya. Orang dewasa disamping memberikan kepercayaan kepada anak, ia akan melindungi anak dalam situasi pergaulan yang diciptakannya. Dengan demikian situasi pergaulan mengandung macam perlindungan sehingga anak akan merasa aman dalam situasi tersebut.
Dalam situasi pergaulan mengandung macam perlindungan sehingga anak akan merasa aman dalam situasi tersebut. Perlindugan harus diberikan, karena jika tidak, momen kepercayaan akan ditarik kembali oleh anak. Perlindungan tidak hanya menjaga keselamatan anak, melainkan juga memberikan kesempatan pada anak untuk mengembangkan potensi yang baik (susila) dan mencegah berkembangnya potensi yang tidak baik (asusila). Misalnya anak yang terlihat melakukan perbuatan yang sesuai dengan kesopanan dan aturan-aturan yang berlaku, biarkanlah ia terus melakukan perbuatan tersebut, tapi bagi anak yang melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan tata kesopanan segera ditegur dan diluruskan dengan mengubah situasi pergaulan dengan situasi pendidikan.
Jadi, dalam situasi pergaulan tidak ada pengertian bahwa anak dibiarkan untuk berbuat sesuka kemauannya. Anak harus dilindungi dari semua bahaya, baik yang datang dari luar maupun dari dalam, baik yang akan merusak fisiknya maupun jiwanya. Orang dewasa menjaga, memperhatikan atau melindungi anak jasmani dan rohaninya agar tidak terganggu. Perlindungan yang diberikan orang dewasa, juga berarti bahwa anak diberi kesempatan untuk mengembangkan dirinya sendiri.
2.      Situasi Pendidikan
Situasi pendidikan berlangsung dalam situasi pergaulan. Apabila dalam suatu pergaulan antara orang dewasa dan anak didasarkan atas suatu tujuan pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan, maka situasi pergaulan yang tercipta adalah situasi pendidikan. Situasi yang timbul telah diisi dengan tindakan pendidikan dan dengan demikian menjadikan situasi tersebut menjadi situasi pendidikan.
Situasi pendidikan merupakan situasi yang istimewa, karena situasinya merupakan suatu perubahan dari situasi pergaulan. Komponen-komponennya terdiri dari pendidik, anak didik, tindakan pendidikan, atau alat pendidikan, dan kewibawaan. Dimana komponen-komponen tersebut berubah dari orang dewasa atau orang tua menjadi pendidik, anak menjadi anak didik, kemudian syarat teknisnya dari kepercayaan menjadi kewibawaan namun mutlak harus ada. Situasi pendidikan merupakan situasi pergaulan yang diciptakan dengan sengaja karena ada suatu tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Ada suatu nilai yang hendak disampaikan kepada anak sebagai anak didik dari orang dewasa (orang tua, guru) sebagai pendidik.
Misalnya, seorang ibu menyuruh anak perempuannya mencuci piring didasari oleh suatu tujuan agar anaknya berdisiplin dan mandiri, hal itu merupakan situasi pendidikan. Dalam hati ibu terbesit suatu tujuan: Aku harus mendidik anak saya agar ia memiliki disiplin dalam kehidupan yang dihadapinya dan agar ia terbiasa hidup mandiri tidak bergantung kepada orang lain. Akan tetapi, seandainya ibu menyuruh anaknya mencuci piring sekadar untuk membantu pekerjaan ibunya sehingga ibunya bisa santai dan tidak capek, situasi tersebut hanyalah  merupakan situasi pergaulan biasa.
Seluruh kegiatan dalam situasi pendidikan menunjukkan bahwa segala sesuatu yang dilakukan pendidik, dilaksanakan dengan penuh kesadaran dan kewaspadaan. Didalam situasi pendidikan tidak ada satu tindakan pun yang dilakukan dengan coba-coba (trial and error-mencoba-coba dan salah). Semua tindakan yang dilakukan direncanakan dan dipikirkan matang-matang sebelumnya. Jadi, situasi pendidikan adalah suatu keadaan di mana terjadi komunikasi interaktif antara orang dewasa dengan anak, antara orang tua (ayah/ibu) dengan anaknya, antar guru dengan muridnya secara sengaja dan terencana untuk mencapai tujuan pendidikan, yaitu manusia dewasa. Manusia dewasa menurut UU No 20 Tahun 2003 adalah manusia Indonesia yang memiliki kekuatan spiritual keagamaan, mampu mengendalikan diri, berkepribadian, manusia yang cerdas, memiliki akhlak mulia, serta memiliki keterampilan yang diperlukan bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
B.     Alat Pendidikan
Dalam  pergaulan dilakukan tindakan tertentu dengan sengaja dan sadar serta memiliki tujuan tertentu yang hendak dicapai. Tindakan tertentu itulah yang disebut dengan alat pendidikan. Jadi dapat dijelaskan bahwa alat pendidikan adalah suatu tindakan yang dilakukan dengan sengaja oleh pendidik terhadap anak didik dengan maksud untuk mencapai tujuan yang diharapkan oleh pendidik yang menggunakan alat pendidikan tersebut.
1.      Alat pendidikan dan Faktor Pendidikan
Benih alat pendidikan sudah ada dalam situasi pergaulan yang dinamakan faktor pendidikan. Faktor pendidikan adalah semua benih kegiatan yang akan dipergunakan untuk mendidik yang terdapat dalam situasi pergaulan. Seperti oleh orang dewasa yang bergaul dengan anak, dapat memilih dengan leluasa apakah akan memberi nasihat, petunjuk, teguran, sindiran, hukuma, ganjaran, pujian, dan sebagainya. Semua tindakan tersebut sudah ada dalam situasi pergaulan yang disebut faktor pendidikan.
Alat pendidikan merupakan suatu tindakan atau perbuatan yang dengan sengaja diadakan untuk mencapai suatu tujuan pendidikan yaitu kedewasaan. Apabila perbuatan dalam situasi tersebut tidak sengaja untuk mencapai tujuan pendidikan maka perbuatan tersebut disebut faktor pendidikan. Sebagai contoh, ibu menyuruh anaknya mencuci piring dengan tujuan anak tersebut memiliki tanggungjawab dan disiplin kerja, maka perbuatan tersebut adalah alat pendidikan. Di lain pihak, seorang ibu menyuruh anaknya mencuci piring dengan tujuan hanya sekedar untuk membantu meringangkan beban pekerjaan ibunya, maka perbuatan tersebut adalah faktor pendidikan.
Jadi disimpulkan bahwa jika suatu situasi diciptakan dengan maksud mempengaruhi secara pedagogis, maka disebut alat pendidikan sedangkan dalam situasi pergaulan, semua pengaruh yang orang dewasa berikan kepada anak didik disebut faktor pendidikan. Langeveld mengelompokkan 5 jenis alat pendidikan yaitu :
a.       Perlindungan
              Perlindungan harus datang dari pihak orang dewasa yang bertindak unuk melindungi peserta didik baik jasmani maupun rohani, sehingga anak merasa terlindungi. Beberapa tindakan atau perbuatan pendidikan yang dapat dilakukan berupa memerintah, membiarkan, menghalangi atau melarang, menciptakan dan memelihara tata tertib.
b.      Kesepahaman
Kesepahaman ini terjadi saat guru menjadi contoh untuk peserta didiknya, dengan memperhatikan secara tidak langsung, anak akan meniru apa yang dilakukan oleh gurunya. Tapi tetap saja kesepahaman ini bisa terjadi jika anak sudah merasa aman jika sedang bersama gurunya. Dari sinilah kita bisa melihat bahwa alat pendidikan ini berhasil membawa anak untuk mengikuti apa yang dilakukan oleh gurunya, tentu saja peniruan untuk melakukan kesepahaman ini haruslah bersifat positif.

c.       Kesamaan arah dalam pikiran dan perbuatan
Kesamaan arah dalam pikiran dan perbuatan ini ialah berupa tanggung jawab. Misalnya saat sedang bermain, seorang guru hendaknya memberikan kepercayaan pada anak didiknya agar anak didiknya mempunyai tanggung jawab dalam menyelesaikan semua tugasnya.
d.      Perasaan bersatu
Perasaan bersatu ini akan timbul karena interaksi yang berlangsung antara pendidik dan peserta didik yang terus menerus. Misalnya karena kebiasaan pendidik dan peserta didik yang selalu bersama-sama setiap hari di sekolah dalam melewati pelajaran itu akan membentuk kenyamanan pada diri anak yang membuat perasaan bersatu itu muncul pada diri keduanya.
e.       Pendidikan karena kepentingan diri sendiri
Pedidikan karena kepentingan diri sendiri, berarti pada saat itu  anak sudah menyadari dirinya mempunyai kesadaran bahwa dirinya sudah mampu membentuk karakternya sendiri. Tugas seorang pendidik disini ialah memberikan tanggung jawab sepenuhnya kepada anak didik untuk melaksanakan tugas sesuai keinginan hatinya. Jadi alat pendidikan ini diberikan kepada anak pada tahap akhir dari pendidikan, saat anak akan mencapai kedewasaannya.
2.   Kriteria menggunakan alat pendidikan
a.       Tujuan pendidikan yang akan dicapai
Jika seorang pendidik akan menggunakan alat pendidikan, maka ia harus tahu tujuan pendidikan mana yang akan dicapai dengan tindakan tersebut. Misalnya ada seorang anak yang berperilaku tidak sopan, maka guru harus secepatnya mempertimbangkan alat pendidikan mana yang akan dilakukan. Guru sebagai pendidik harus dengan cepat berpikir dan memutuskan pilihannya dengan tepat. Persoalan tingkah laku merupakan masalah kesusilaan dengan demikian berkaitan dengan kedewasaan. Dalam hal ini guru dapat menggunakan alat pendidikan berupa nasihat dan teguran serta teladan yang baik sehingga tujuan yang ingin dicapai dapat terwujud yaitu manusia yang tahu sopan santun.
b.   Orang dewasa yang menggunakan alat pendidikan
Penggunaan alat pendidikan harus mempertimbangkan pendidik mana yang akan menggunakan alat pendidikan tersebut, misalnya ayah, ibu, guru atau pengasuh di panti asuhan. Seorang anak yang membuat kesalahan dan dinasihati oleh ayah kandungnya atau ibu kandungnya akan lain perasaan dan pikirannya apabila dinasihati oleh ayah tiri atau ibu tirinya. Sama halnya dengan seorang guru yang berwajah simpatik akan memberikan pengaruh yang berbeda dibandingkan dengan seorang guru yang dari pembawaannya kejam walaupun nasihat yang diucapkannya sama. Maka dapat disimpulkan bahwa hasil suatu alat pendidikan bergantung pada siapa yang bertindak menjadi pendidiknya dan siapa yang menggunakan alat tersebut.
c.       Anak mana yang dikenai alat pendidikan
Alat pendidikan dikenakan kepada anak didik baik itu laki-laki, perempuan, anak pemurung, periang, lincah, pendiam, seorang kanak-kanak, remaja dan sebagainya.  Jadi, dalam memilih alat pendidikan harus memperhatikan jenis kelamin, watak, dan pembawaannya, latar belakang kehidupannya, taraf perkembangan psikologi, dan kecerdasannya.
d.      Bagaimana alat pendidikan itu bekerja, memuaskan atau tidak
Seorang guru yang telah memberikan teguran, nasihat, atau hukuman harus tetap memperhatikan apakah alat pendidikan yang digunakan terhadap siswanya benar-benar telah mencapai tujuannya. Jika ada perubahan tingkah laku berarti alat pendidikan sudah mencapai tujuannya. Namun, bila tidak ada perubahan tingkah laku, dapat dilanjutkan dengan teguran yang lebih keras bahkan mungkin bisa diberikan alat pendidikan berupa hukuman. Efektif atau tidaknya penggunaan alat pendidikan tergantung kepada kualitas pendidik itu sendiri mencakup pegalaman pendidik, sifat kepribadiannya, taraf intelegensinya, dan pada kemampuan pendidik itu sendiri untuk menjelma menjadi alat pendidikan.
C.    Jenis-Jenis Alat Pendidikan
1.      Pembiasaan
              Pembiasaan merupakan alat pendidikan yang penting, terutama bagi anak kecil. Anak kecil belum menyadari apa yang dikatakan baik dan buruk dalam arti susila. Ia belum memiliki kewajiban yang harus dikerjakan seperti orang dewasa, tetapi mereka sudah memiliki hak seperti hak untuk dipelihara, hak perlindungan, hak mendapat pendidikan. Pembiasaan merupakan tindakan awal yang dapat dilakukan dalam pendidikan. Sejak dilahirkan anak dibiasakan dengan perbuatan-perbuatan baik, seperti mandi dan tidur pada waktuya, diberi makan secara teratur, berbicara sopan, belajar secara teratur dan sebagainya. Dalam perkembangan anak, kebiasaan-kebiasaan baik tersebut harus tetap dipelihara dan dilaksanakan, sehingga anak akan terbiasa dengan hal-hal yang baik.
              Anak dapat menaati peraturan-peraturan dengan jalan membiasakan perbuatan-perbuatan baik di rumah dalam lingkungan keluarga, di lingkungan sekolah, dan di lingkungan masyarakat. Pembiasaan yang baik penting bagi pembentukan watak anak dan akan berpengaruh bagi perkembangan anak selanjutnya. Menanamkan kebiasaan pada diri anak memang tidak mudah, dan memerlukan waktu lama, serta menuntut kesabaran pendidik. Beberapa kriteria yang harus diperhatikan pendidik dalam menerapkan pembiasaan seperti berikut:
a.       Mulai pembiasaan sebelum terlambat, sebelum anak didik memiliki kebiasaan lain yang berbeda/berlawanan dengan hal-hal yang akan dibiasakan.
b.      Pembiasaan hendaknya dilakukan secara terus menerus, dilakukan secara teratur berencana sehingga akhirnya menjadi suatu kebiasaan yang otomatis, untuk itu diperlukan pengawasan.
c.       Pendidik hendaknya konsekuen, bersikap tegas dan teguh dalam pendirian yang telah diambilnya. Jangan memberi kesempatan kepada anak untuk mengingkari kebiasaan yang telah dilakukannya.
d.      Pembiasaan yang pada awalnya mekanistik, harus menjadi kebiasaan yang disertai dengan kesadaran dan kata hati anak itu sendiri.
2.      Pengawasan
              Telah dijelaskan bahwa pendidik (orang tua, guru, dan yang lainnya) harus memperhatikan akibat pengaruh dari alat pendidikan yang telah diberikan kepada anak didiknya, sejauh mana akibat dari alat pendidikan itu memberikan dampak terhadap perkembangan kepribadian anak didik. Jadi dalam hal ini diperlukan suatu pengawasan terhadap hasil dari penggunaan alat pendidikan tersebut. Aturan-aturan yang berlaku di rumah atau di sekolah, misalnya larangan dan kewajiban anak didik akan berjalan dengan baik apabila disertai pengawasan secara terus menerus. Tanpa pengawasan dari pendidik terhadap dampak penggunaan alat pendidikan berarti pendidik membiarkan anak didik berbuat semaunya. Anak didik terutama pada usia kelompok bermain misalnya belum dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, belum memahami mana yang seharusnya dihindari dan mana yang boleh dilakukan. Pendidik jangan membiarkan anak tumbuh menurut alamnya tanpa perhatian dan pengawasan pendidik.
              Dengan membiarkan anak, kemungkinan anak akan bertindak semaunya, tidak patuh pada pendidik, terhadap orang lain disekitarnya, yang lebih bahaya lagi anak tidak mengetahui arah tujuan hidup. Pengawasan harus sesuai dengan taraf usia anak, anak yang masih kecil tentu membutuhkan pengawasan, makin besar anak pengawasan berkurang, yang pada akhirnya kalau anak sudah dewasa maka ia akan mengawasi dirinya sendiri.
3.      Perintah
              Perintah dapat merupakan suatu isyarat atau petunjuk yang diberikan seorang pendidik untuk melakukan sesuatu atau untuk menaati suatu peraturan tertentu yang berlaku dalam lingkungannya. Misalnya dalam keluarga ada aturan-aturan tertentu yang diberlakukan oleh orang tua bagi anak-anaknya. Dalam hal ini orang tua ayah dan ibu memerintahkan kepada anaknya untuk menaati aturan-aturan tersebut. Di sekolah guru dapat memerintah untuk menaati peraturan-peraturan sekolah pada umumnya dan peraturan kelas pada khususnya. Suatu perintah akan ditaati anak, apabila pendidik (orang tua di rumah, guru di sekolah) itu sendiri tindakannya tidak bertentangan dengan apa yang diperintahkannya. Jadi pendidik harus terlebih dahulu menerapkan aturan-aturan moral itu pada dirinya, pendidik harus sudah berperilaku sesuai dengan aturan-aturan yang diperintahkan kepada anak didiknya. Dalam memberikan perintah ini ada beberapa syarat yang perlu diperhatikan (Purwanto, 2004 dalam Sadulloh, 2017), yaitu:
a.        Perintah hendaknya jelas dan singkat, jangan terlalu banyak komentaar, sehingga mudah dimengerti oleh anak.
b.      Perintah hendaknya sesuai dengan tingkat usia anak, dan kesanggupannya.
c.       Kadang kita perlu mengubah perintah menjadi suatu perintah yang lebih bersifat permintaan, sehingga tidak terlalu keras kedengarannya.
d.      Jangan terlalu sering dan berlebihan dalam memberi perintah, karena kemungkinan anak akan bosan dan akhirnya tidak patuh.
e.       Pendidik hendaknya konsekuen terhadap apa yang telah diperintahkannya.
f.       Suatu perintah yang sifatnya mengajak dimana si pendidik turut berpartisipasi, pada umumnya akan lebih ditaati oleh anak.
4.      Larangan
              Larangan adalah suatu upaya untuk melarang anak tidak boleh melakukan sesuatu. Perintah berkaitan dengan sesuatu yang harus dilakukan oleh anak, karena kalau tidak dilakukan akan berakibat tidak baik bagi anak, dan tujuan pendidikan tidak akan tercapai. Larangan berlawanan dengan perintah berkaitan dengan sesuatu yang tidak boleh dilakukan oleh anak, karena bila dilakukan akan berakibat tidak baik bagi anak dan akan menghambat tercapainya tujuan pendidikan. Beberapa syarat yang harus diperhatikan dalam melaksanakan larangan adalah sebagai berikut:
a.       Larangan harus diberikan dengan singkat, jelas, dimengerti isi, dan maksud larangan tersebut.
b.      Jangan terlalu sering menggunakan larangan.
c.       Bagi anak yang masih kecil, larangan dapat dialihkan kepada sesuatu yang lain, yang menarik perhatian dan minat anak.
5.      Hukuman
Menghukum menurut Langeveld (1980) adalah suatu perbuatan yang dengan sadar, sengaja menyebabkan penderitaan bagi seseorang biasanya yang lebih lemah dan dipercayakan kepada pendidik untuk dibimbing dan dilindungi, Hukuman tersebut diberikan dengan maksud anak benar-benar merasakan penderitaan tersebut. Hukuman diberikan karena anak berbuat kesalahan, anak melanggar suatu aturan yang berlaku, sehingga dengan diberikannya hukuman, anak tidak akan mengulangi kesalahan tersebut, dan hukuman diberikan sebagai suatu pembinaan bagi anak untuk menjadi pribadi susila.  
Hukuman memang akan menimbulkan penderitaan bagi anak didik, karena itu hukuman harus didasari oleh motif positif, yaitu untuk memperbaiki pribadi anak. Apabila tidak dilandasi oleh motif positif untuk memperbaiki pribadi anak, hukuman akan mengakibatkan kerugian pedagogis yang besar. Hukuman akan berhasil apabila dalam diri anak timbul penyesalan terhadap kesalahan yang telah dilakukannya dan ia tidak akan mengulangi perbuatan tersebut. Hukuman tidak boleh diberikan karena balas dendam kepada anak, misalnya anak tidak memperhatikan pelajaran dalam kelas, guru menghukumnya karena merasa dilecehkan oleh anak didiknya. Menurut Ahmadi dan Uhbiyati (2001) dalam Sadulloh, 2017, tindakan yang pantas dan wajar adalah kurangi menghukum, beri contoh yang baik serta anjuran untuk berbuat baik dalam membentuk kemauan anak didik, sehingga tujuan anak tercapai karena hukuman bukan satu-satunya alat pendidikan. Hukuman yang menimbulkan penderitaan bagi anak dikatakan wajar apabila sama sekali tidak ada jalan lain, artinya dengan menggunakan alat pendidikan yang lain tujuan akan tercapai. Dalam melaksanakan hukuman ada beberapa teori yang mendasarinya yaitu sebagai berikut:
a.       Teori Pembalasan (Balas Dendam)
            Hukuman diberikan sebagai balas dendam terhadap anak, misalnya karena anak telah mengecewakan si pendidik, misalnya guru merasa dilecehkan martabatnya.
b.      Teori Ganti Rugi
              Teori diberikan kepada anak karena ada kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatannya, misalnya anak bermain-main di dalam kelas sehingga vas bunga yang berada di meja guru jatuh dan pecah. Guru memberikan hukuman kepada anak yang bermain sehingga vas bunga pecah dengan mengharuskan mengganti vas bunga tersebut dengan menyerahkan uang seharga vas bunga tersebut.
c.       Teori Perbaikan
              Hukuman diberikan agar anak dapat memperbaiki dan tidak mengulangi kesalahannya. Alat pendidikan yang dapat dipergunakan misalnya, dengan memberi teguran, menasihati, memberikan pengertian, sehingga anak sadar akan kesalahannya daan tidak akan mengulanginya.
d.      Teori Menakut-nakuti
Teori ini diberikan agar anak didik merasa takut untuk mengulangi perbuatannya, kesalahannya, sehingga ia tidak akan melakukan perbuatan tersebut dan akan meninggalkannya. Cara menakut-nakuti  biasanya dengan ancaman, dan ancaman ini oleh anak mungkin dapat dianggap sebagai hukuman karena bisa menimbulkan penderitaan.
e.       Teori Menjerakan
              Teori ini dilaksanakan dengan tujuan agar anak setelah menjalani hukuman merasa jera terhadap hukuman yang ditimpakan kepadanya, sehingga ia tidak akan melakukan kembali perbuatannya atau mengulangi kesalahan yang sama yang telah dilakukannya.
              Demikian berbagai teori hukuman yang mungkin dapat dijadikan pertimbangan bagi para pendidik dalam mendidik anak didiknya. Teori balas dendam seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang pendidik, karena lebih mementingkan harga diri pendidik dan menunjukkan ketidakmatangan emosi pendidik. Teori perbaikan mungkin yang lebih baik, karena dilakukan melalui tahapan-tahapan seperti peringatan, teguran, nasihat, dan sebagainya.
A.    Situasi Pergaulan dan Situasi Pendidikan
Pergaulan merupakan dua orang atau lebih bersama-sama mengadakan hubungan antara sesamanya. Hubungan antara orang dewasa dengan anak yang belum dewasa kemungkinan membentuk dua situasi yaitu situasi pergaulan dan situasi pendidikan.
1.      Situasi Pergaulan
Pergaulan adalah proses interaksi yang dilakukan oleh individu dengan individu yang lain maupun dengan kelompok. Seperti yang dikemukakan oleh Aristoteles bahwa manusia sebagai makhluk sosial (zoon-politicon) yang artinya manusia sebagai makhluk sosial yang tak lepas dari kebersamaan dengan manusia lain. Pergaulan mempunyai pengaruh yang besar dalam pembentukan kepribadian individu. Jika dalam suatu pergaulan antara orang dewasa dengan anak didasarkan atas niat untuk memuaskan keinginan orang dewasa dan tidak didasarkan untuk mencapai tujuan pendidikan, maka situasi yang tercipta bukan situasi pendidikan melalainkan situasi pergaulan.
Misalnya, seorang guru/pendidik menawarkan buku pelajaran kepada murid-muridnya dengan tujuan mendapatkan keutungan dari hasil penjualan buku berupa komisi dari penerbit, maka tindakan tersebut tidak bisa digolongkan kepada situasi pendidikan walaupun terjadi di lingkungan sekolah (kelas). Hal tersebut hanyalah merupakan situasi pergaulan biasa, bukan situasi pendidikan. Situasi yang berisi tindakan bukan pendidikan tidak akan menciptakan situasi pendidikan melainkan tetap situasi pergaulan.
Dalam situasi pergaulan anak memperoleh kesempatan untuk menjadi dirinya serta mengekspresikan apa yang yang dihayatinya. Anak dapat mengungkapkan dengan bebas dan spontan semua pikiran, perasaan maupun kemauan yang dihayatinya. Dengan adanya kesempatan untuk bertindak dan bertingkah laku seperti yang ia inginkan, anak dapat mengembangkan bentuk kepribadiannya sendiri. Keinginan tersebut dapat diperoleh anak dalam pergaulan.
Oleh karena itu, selama anak tidak melanggar norma atau nilai-nilai pedagogis, sebaiknya ia diberikan kebebasan seluas-luasnya untuk bergerak dan berbuat sesuatu. Biarkan anak merasakan kehidupannya sebagai anak. Situasi pergaulan yang sifatnya wajar dan alamiah memberikan kesempatan kepada anak untuk menyerap dan mencerna semua pengalaman sesuai pilihan kesukaannya tanpa merasa ada paksaan. Apabila sikap, ucap, dan perbuatan yang diserap dan dicerna anak adalah sikap, ucap, dan perbuatan yang baik sesuai dengan norma-norma susila, maka akibatnya perkembangan anak akan baik begitu pula sebaliknya. Karena itu orang tua dan pendidik harus memperhatikan situasi pergaulan bukan hanya sebagai suatu “suasana” yang dapat memberikan pengaruh, melainkan karena lamanya anak berada dalam situasi pergaulan dibandingkan dalam situasi pendidikan.
·         Mengapa situasi pergaulan bisa terjadi?
Situasi pergaulan akan terjadi apabila ada rasa saling mempercayai antara dua orang atau lebih yang berada dalam satu tempat yang sama. Jadi, kepercayaan merupakan syarat teknis bagi terjadinya situasi pergaulan. Artinya, situasi pergaulan tidak akan terjadi apabila tidak ada kepercayaan. Anak dan orang dewasa akan membentuk situasi pergaulan apabila di antara keduanya saling mempercayai. Anak harus menaruh kepercayaaan bahwa orang dewasa yang dihadapinya tidak akan menjerumuskan dan merugikan dirinya. Anak harus dapat menaruh perhatian bahwa ia akan dapat mengambil banyak  manfaat dengan membuka hubungan dengan orang dewasa yang dihadapinya.
Sebaliknya, orang dewasa pun harus memberikan kepercayaan kepada anak yang dihadapinya. Orang dewasa percaya bahwa anak dapat berkembang atas kemampuannya sendiri, dapat dipengaruhi, memiliki kemampuan sendiri, mau berusaha untuk berdiri sendiri atas kemampuan sendiri dan sebagainya. Orang dewasa disamping memberikan kepercayaan kepada anak, ia akan melindungi anak dalam situasi pergaulan yang diciptakannya. Dengan demikian situasi pergaulan mengandung macam perlindungan sehingga anak akan merasa aman dalam situasi tersebut.
Dalam situasi pergaulan mengandung macam perlindungan sehingga anak akan merasa aman dalam situasi tersebut. Perlindugan harus diberikan, karena jika tidak, momen kepercayaan akan ditarik kembali oleh anak. Perlindungan tidak hanya menjaga keselamatan anak, melainkan juga memberikan kesempatan pada anak untuk mengembangkan potensi yang baik (susila) dan mencegah berkembangnya potensi yang tidak baik (asusila). Misalnya anak yang terlihat melakukan perbuatan yang sesuai dengan kesopanan dan aturan-aturan yang berlaku, biarkanlah ia terus melakukan perbuatan tersebut, tapi bagi anak yang melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan tata kesopanan segera ditegur dan diluruskan dengan mengubah situasi pergaulan dengan situasi pendidikan.
Jadi, dalam situasi pergaulan tidak ada pengertian bahwa anak dibiarkan untuk berbuat sesuka kemauannya. Anak harus dilindungi dari semua bahaya, baik yang datang dari luar maupun dari dalam, baik yang akan merusak fisiknya maupun jiwanya. Orang dewasa menjaga, memperhatikan atau melindungi anak jasmani dan rohaninya agar tidak terganggu. Perlindungan yang diberikan orang dewasa, juga berarti bahwa anak diberi kesempatan untuk mengembangkan dirinya sendiri.
2.      Situasi Pendidikan
Situasi pendidikan berlangsung dalam situasi pergaulan. Apabila dalam suatu pergaulan antara orang dewasa dan anak didasarkan atas suatu tujuan pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan, maka situasi pergaulan yang tercipta adalah situasi pendidikan. Situasi yang timbul telah diisi dengan tindakan pendidikan dan dengan demikian menjadikan situasi tersebut menjadi situasi pendidikan.
Situasi pendidikan merupakan situasi yang istimewa, karena situasinya merupakan suatu perubahan dari situasi pergaulan. Komponen-komponennya terdiri dari pendidik, anak didik, tindakan pendidikan, atau alat pendidikan, dan kewibawaan. Dimana komponen-komponen tersebut berubah dari orang dewasa atau orang tua menjadi pendidik, anak menjadi anak didik, kemudian syarat teknisnya dari kepercayaan menjadi kewibawaan namun mutlak harus ada. Situasi pendidikan merupakan situasi pergaulan yang diciptakan dengan sengaja karena ada suatu tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Ada suatu nilai yang hendak disampaikan kepada anak sebagai anak didik dari orang dewasa (orang tua, guru) sebagai pendidik.
Misalnya, seorang ibu menyuruh anak perempuannya mencuci piring didasari oleh suatu tujuan agar anaknya berdisiplin dan mandiri, hal itu merupakan situasi pendidikan. Dalam hati ibu terbesit suatu tujuan: Aku harus mendidik anak saya agar ia memiliki disiplin dalam kehidupan yang dihadapinya dan agar ia terbiasa hidup mandiri tidak bergantung kepada orang lain. Akan tetapi, seandainya ibu menyuruh anaknya mencuci piring sekadar untuk membantu pekerjaan ibunya sehingga ibunya bisa santai dan tidak capek, situasi tersebut hanyalah  merupakan situasi pergaulan biasa.
Seluruh kegiatan dalam situasi pendidikan menunjukkan bahwa segala sesuatu yang dilakukan pendidik, dilaksanakan dengan penuh kesadaran dan kewaspadaan. Didalam situasi pendidikan tidak ada satu tindakan pun yang dilakukan dengan coba-coba (trial and error-mencoba-coba dan salah). Semua tindakan yang dilakukan direncanakan dan dipikirkan matang-matang sebelumnya. Jadi, situasi pendidikan adalah suatu keadaan di mana terjadi komunikasi interaktif antara orang dewasa dengan anak, antara orang tua (ayah/ibu) dengan anaknya, antar guru dengan muridnya secara sengaja dan terencana untuk mencapai tujuan pendidikan, yaitu manusia dewasa. Manusia dewasa menurut UU No 20 Tahun 2003 adalah manusia Indonesia yang memiliki kekuatan spiritual keagamaan, mampu mengendalikan diri, berkepribadian, manusia yang cerdas, memiliki akhlak mulia, serta memiliki keterampilan yang diperlukan bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
B.     Alat Pendidikan
Dalam  pergaulan dilakukan tindakan tertentu dengan sengaja dan sadar serta memiliki tujuan tertentu yang hendak dicapai. Tindakan tertentu itulah yang disebut dengan alat pendidikan. Jadi dapat dijelaskan bahwa alat pendidikan adalah suatu tindakan yang dilakukan dengan sengaja oleh pendidik terhadap anak didik dengan maksud untuk mencapai tujuan yang diharapkan oleh pendidik yang menggunakan alat pendidikan tersebut.
1.      Alat pendidikan dan Faktor Pendidikan
Benih alat pendidikan sudah ada dalam situasi pergaulan yang dinamakan faktor pendidikan. Faktor pendidikan adalah semua benih kegiatan yang akan dipergunakan untuk mendidik yang terdapat dalam situasi pergaulan. Seperti oleh orang dewasa yang bergaul dengan anak, dapat memilih dengan leluasa apakah akan memberi nasihat, petunjuk, teguran, sindiran, hukuma, ganjaran, pujian, dan sebagainya. Semua tindakan tersebut sudah ada dalam situasi pergaulan yang disebut faktor pendidikan.
Alat pendidikan merupakan suatu tindakan atau perbuatan yang dengan sengaja diadakan untuk mencapai suatu tujuan pendidikan yaitu kedewasaan. Apabila perbuatan dalam situasi tersebut tidak sengaja untuk mencapai tujuan pendidikan maka perbuatan tersebut disebut faktor pendidikan. Sebagai contoh, ibu menyuruh anaknya mencuci piring dengan tujuan anak tersebut memiliki tanggungjawab dan disiplin kerja, maka perbuatan tersebut adalah alat pendidikan. Di lain pihak, seorang ibu menyuruh anaknya mencuci piring dengan tujuan hanya sekedar untuk membantu meringangkan beban pekerjaan ibunya, maka perbuatan tersebut adalah faktor pendidikan.
Jadi disimpulkan bahwa jika suatu situasi diciptakan dengan maksud mempengaruhi secara pedagogis, maka disebut alat pendidikan sedangkan dalam situasi pergaulan, semua pengaruh yang orang dewasa berikan kepada anak didik disebut faktor pendidikan. Langeveld mengelompokkan 5 jenis alat pendidikan yaitu :
a.       Perlindungan
              Perlindungan harus datang dari pihak orang dewasa yang bertindak unuk melindungi peserta didik baik jasmani maupun rohani, sehingga anak merasa terlindungi. Beberapa tindakan atau perbuatan pendidikan yang dapat dilakukan berupa memerintah, membiarkan, menghalangi atau melarang, menciptakan dan memelihara tata tertib.
b.      Kesepahaman
Kesepahaman ini terjadi saat guru menjadi contoh untuk peserta didiknya, dengan memperhatikan secara tidak langsung, anak akan meniru apa yang dilakukan oleh gurunya. Tapi tetap saja kesepahaman ini bisa terjadi jika anak sudah merasa aman jika sedang bersama gurunya. Dari sinilah kita bisa melihat bahwa alat pendidikan ini berhasil membawa anak untuk mengikuti apa yang dilakukan oleh gurunya, tentu saja peniruan untuk melakukan kesepahaman ini haruslah bersifat positif.

c.       Kesamaan arah dalam pikiran dan perbuatan
Kesamaan arah dalam pikiran dan perbuatan ini ialah berupa tanggung jawab. Misalnya saat sedang bermain, seorang guru hendaknya memberikan kepercayaan pada anak didiknya agar anak didiknya mempunyai tanggung jawab dalam menyelesaikan semua tugasnya.
d.      Perasaan bersatu
Perasaan bersatu ini akan timbul karena interaksi yang berlangsung antara pendidik dan peserta didik yang terus menerus. Misalnya karena kebiasaan pendidik dan peserta didik yang selalu bersama-sama setiap hari di sekolah dalam melewati pelajaran itu akan membentuk kenyamanan pada diri anak yang membuat perasaan bersatu itu muncul pada diri keduanya.
e.       Pendidikan karena kepentingan diri sendiri
Pedidikan karena kepentingan diri sendiri, berarti pada saat itu  anak sudah menyadari dirinya mempunyai kesadaran bahwa dirinya sudah mampu membentuk karakternya sendiri. Tugas seorang pendidik disini ialah memberikan tanggung jawab sepenuhnya kepada anak didik untuk melaksanakan tugas sesuai keinginan hatinya. Jadi alat pendidikan ini diberikan kepada anak pada tahap akhir dari pendidikan, saat anak akan mencapai kedewasaannya.
2.   Kriteria menggunakan alat pendidikan
a.       Tujuan pendidikan yang akan dicapai
Jika seorang pendidik akan menggunakan alat pendidikan, maka ia harus tahu tujuan pendidikan mana yang akan dicapai dengan tindakan tersebut. Misalnya ada seorang anak yang berperilaku tidak sopan, maka guru harus secepatnya mempertimbangkan alat pendidikan mana yang akan dilakukan. Guru sebagai pendidik harus dengan cepat berpikir dan memutuskan pilihannya dengan tepat. Persoalan tingkah laku merupakan masalah kesusilaan dengan demikian berkaitan dengan kedewasaan. Dalam hal ini guru dapat menggunakan alat pendidikan berupa nasihat dan teguran serta teladan yang baik sehingga tujuan yang ingin dicapai dapat terwujud yaitu manusia yang tahu sopan santun.
b.   Orang dewasa yang menggunakan alat pendidikan
Penggunaan alat pendidikan harus mempertimbangkan pendidik mana yang akan menggunakan alat pendidikan tersebut, misalnya ayah, ibu, guru atau pengasuh di panti asuhan. Seorang anak yang membuat kesalahan dan dinasihati oleh ayah kandungnya atau ibu kandungnya akan lain perasaan dan pikirannya apabila dinasihati oleh ayah tiri atau ibu tirinya. Sama halnya dengan seorang guru yang berwajah simpatik akan memberikan pengaruh yang berbeda dibandingkan dengan seorang guru yang dari pembawaannya kejam walaupun nasihat yang diucapkannya sama. Maka dapat disimpulkan bahwa hasil suatu alat pendidikan bergantung pada siapa yang bertindak menjadi pendidiknya dan siapa yang menggunakan alat tersebut.
c.       Anak mana yang dikenai alat pendidikan
Alat pendidikan dikenakan kepada anak didik baik itu laki-laki, perempuan, anak pemurung, periang, lincah, pendiam, seorang kanak-kanak, remaja dan sebagainya.  Jadi, dalam memilih alat pendidikan harus memperhatikan jenis kelamin, watak, dan pembawaannya, latar belakang kehidupannya, taraf perkembangan psikologi, dan kecerdasannya.
d.      Bagaimana alat pendidikan itu bekerja, memuaskan atau tidak
Seorang guru yang telah memberikan teguran, nasihat, atau hukuman harus tetap memperhatikan apakah alat pendidikan yang digunakan terhadap siswanya benar-benar telah mencapai tujuannya. Jika ada perubahan tingkah laku berarti alat pendidikan sudah mencapai tujuannya. Namun, bila tidak ada perubahan tingkah laku, dapat dilanjutkan dengan teguran yang lebih keras bahkan mungkin bisa diberikan alat pendidikan berupa hukuman. Efektif atau tidaknya penggunaan alat pendidikan tergantung kepada kualitas pendidik itu sendiri mencakup pegalaman pendidik, sifat kepribadiannya, taraf intelegensinya, dan pada kemampuan pendidik itu sendiri untuk menjelma menjadi alat pendidikan.
C.    Jenis-Jenis Alat Pendidikan
1.      Pembiasaan
              Pembiasaan merupakan alat pendidikan yang penting, terutama bagi anak kecil. Anak kecil belum menyadari apa yang dikatakan baik dan buruk dalam arti susila. Ia belum memiliki kewajiban yang harus dikerjakan seperti orang dewasa, tetapi mereka sudah memiliki hak seperti hak untuk dipelihara, hak perlindungan, hak mendapat pendidikan. Pembiasaan merupakan tindakan awal yang dapat dilakukan dalam pendidikan. Sejak dilahirkan anak dibiasakan dengan perbuatan-perbuatan baik, seperti mandi dan tidur pada waktuya, diberi makan secara teratur, berbicara sopan, belajar secara teratur dan sebagainya. Dalam perkembangan anak, kebiasaan-kebiasaan baik tersebut harus tetap dipelihara dan dilaksanakan, sehingga anak akan terbiasa dengan hal-hal yang baik.
              Anak dapat menaati peraturan-peraturan dengan jalan membiasakan perbuatan-perbuatan baik di rumah dalam lingkungan keluarga, di lingkungan sekolah, dan di lingkungan masyarakat. Pembiasaan yang baik penting bagi pembentukan watak anak dan akan berpengaruh bagi perkembangan anak selanjutnya. Menanamkan kebiasaan pada diri anak memang tidak mudah, dan memerlukan waktu lama, serta menuntut kesabaran pendidik. Beberapa kriteria yang harus diperhatikan pendidik dalam menerapkan pembiasaan seperti berikut:
a.       Mulai pembiasaan sebelum terlambat, sebelum anak didik memiliki kebiasaan lain yang berbeda/berlawanan dengan hal-hal yang akan dibiasakan.
b.      Pembiasaan hendaknya dilakukan secara terus menerus, dilakukan secara teratur berencana sehingga akhirnya menjadi suatu kebiasaan yang otomatis, untuk itu diperlukan pengawasan.
c.       Pendidik hendaknya konsekuen, bersikap tegas dan teguh dalam pendirian yang telah diambilnya. Jangan memberi kesempatan kepada anak untuk mengingkari kebiasaan yang telah dilakukannya.
d.      Pembiasaan yang pada awalnya mekanistik, harus menjadi kebiasaan yang disertai dengan kesadaran dan kata hati anak itu sendiri.
2.      Pengawasan
              Telah dijelaskan bahwa pendidik (orang tua, guru, dan yang lainnya) harus memperhatikan akibat pengaruh dari alat pendidikan yang telah diberikan kepada anak didiknya, sejauh mana akibat dari alat pendidikan itu memberikan dampak terhadap perkembangan kepribadian anak didik. Jadi dalam hal ini diperlukan suatu pengawasan terhadap hasil dari penggunaan alat pendidikan tersebut. Aturan-aturan yang berlaku di rumah atau di sekolah, misalnya larangan dan kewajiban anak didik akan berjalan dengan baik apabila disertai pengawasan secara terus menerus. Tanpa pengawasan dari pendidik terhadap dampak penggunaan alat pendidikan berarti pendidik membiarkan anak didik berbuat semaunya. Anak didik terutama pada usia kelompok bermain misalnya belum dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, belum memahami mana yang seharusnya dihindari dan mana yang boleh dilakukan. Pendidik jangan membiarkan anak tumbuh menurut alamnya tanpa perhatian dan pengawasan pendidik.
              Dengan membiarkan anak, kemungkinan anak akan bertindak semaunya, tidak patuh pada pendidik, terhadap orang lain disekitarnya, yang lebih bahaya lagi anak tidak mengetahui arah tujuan hidup. Pengawasan harus sesuai dengan taraf usia anak, anak yang masih kecil tentu membutuhkan pengawasan, makin besar anak pengawasan berkurang, yang pada akhirnya kalau anak sudah dewasa maka ia akan mengawasi dirinya sendiri.
3.      Perintah
              Perintah dapat merupakan suatu isyarat atau petunjuk yang diberikan seorang pendidik untuk melakukan sesuatu atau untuk menaati suatu peraturan tertentu yang berlaku dalam lingkungannya. Misalnya dalam keluarga ada aturan-aturan tertentu yang diberlakukan oleh orang tua bagi anak-anaknya. Dalam hal ini orang tua ayah dan ibu memerintahkan kepada anaknya untuk menaati aturan-aturan tersebut. Di sekolah guru dapat memerintah untuk menaati peraturan-peraturan sekolah pada umumnya dan peraturan kelas pada khususnya. Suatu perintah akan ditaati anak, apabila pendidik (orang tua di rumah, guru di sekolah) itu sendiri tindakannya tidak bertentangan dengan apa yang diperintahkannya. Jadi pendidik harus terlebih dahulu menerapkan aturan-aturan moral itu pada dirinya, pendidik harus sudah berperilaku sesuai dengan aturan-aturan yang diperintahkan kepada anak didiknya. Dalam memberikan perintah ini ada beberapa syarat yang perlu diperhatikan (Purwanto, 2004 dalam Sadulloh, 2017), yaitu:
a.        Perintah hendaknya jelas dan singkat, jangan terlalu banyak komentaar, sehingga mudah dimengerti oleh anak.
b.      Perintah hendaknya sesuai dengan tingkat usia anak, dan kesanggupannya.
c.       Kadang kita perlu mengubah perintah menjadi suatu perintah yang lebih bersifat permintaan, sehingga tidak terlalu keras kedengarannya.
d.      Jangan terlalu sering dan berlebihan dalam memberi perintah, karena kemungkinan anak akan bosan dan akhirnya tidak patuh.
e.       Pendidik hendaknya konsekuen terhadap apa yang telah diperintahkannya.
f.       Suatu perintah yang sifatnya mengajak dimana si pendidik turut berpartisipasi, pada umumnya akan lebih ditaati oleh anak.
4.      Larangan
              Larangan adalah suatu upaya untuk melarang anak tidak boleh melakukan sesuatu. Perintah berkaitan dengan sesuatu yang harus dilakukan oleh anak, karena kalau tidak dilakukan akan berakibat tidak baik bagi anak, dan tujuan pendidikan tidak akan tercapai. Larangan berlawanan dengan perintah berkaitan dengan sesuatu yang tidak boleh dilakukan oleh anak, karena bila dilakukan akan berakibat tidak baik bagi anak dan akan menghambat tercapainya tujuan pendidikan. Beberapa syarat yang harus diperhatikan dalam melaksanakan larangan adalah sebagai berikut:
a.       Larangan harus diberikan dengan singkat, jelas, dimengerti isi, dan maksud larangan tersebut.
b.      Jangan terlalu sering menggunakan larangan.
c.       Bagi anak yang masih kecil, larangan dapat dialihkan kepada sesuatu yang lain, yang menarik perhatian dan minat anak.
5.      Hukuman
Menghukum menurut Langeveld (1980) adalah suatu perbuatan yang dengan sadar, sengaja menyebabkan penderitaan bagi seseorang biasanya yang lebih lemah dan dipercayakan kepada pendidik untuk dibimbing dan dilindungi, Hukuman tersebut diberikan dengan maksud anak benar-benar merasakan penderitaan tersebut. Hukuman diberikan karena anak berbuat kesalahan, anak melanggar suatu aturan yang berlaku, sehingga dengan diberikannya hukuman, anak tidak akan mengulangi kesalahan tersebut, dan hukuman diberikan sebagai suatu pembinaan bagi anak untuk menjadi pribadi susila.  
Hukuman memang akan menimbulkan penderitaan bagi anak didik, karena itu hukuman harus didasari oleh motif positif, yaitu untuk memperbaiki pribadi anak. Apabila tidak dilandasi oleh motif positif untuk memperbaiki pribadi anak, hukuman akan mengakibatkan kerugian pedagogis yang besar. Hukuman akan berhasil apabila dalam diri anak timbul penyesalan terhadap kesalahan yang telah dilakukannya dan ia tidak akan mengulangi perbuatan tersebut. Hukuman tidak boleh diberikan karena balas dendam kepada anak, misalnya anak tidak memperhatikan pelajaran dalam kelas, guru menghukumnya karena merasa dilecehkan oleh anak didiknya. Menurut Ahmadi dan Uhbiyati (2001) dalam Sadulloh, 2017, tindakan yang pantas dan wajar adalah kurangi menghukum, beri contoh yang baik serta anjuran untuk berbuat baik dalam membentuk kemauan anak didik, sehingga tujuan anak tercapai karena hukuman bukan satu-satunya alat pendidikan. Hukuman yang menimbulkan penderitaan bagi anak dikatakan wajar apabila sama sekali tidak ada jalan lain, artinya dengan menggunakan alat pendidikan yang lain tujuan akan tercapai. Dalam melaksanakan hukuman ada beberapa teori yang mendasarinya yaitu sebagai berikut:
a.       Teori Pembalasan (Balas Dendam)
            Hukuman diberikan sebagai balas dendam terhadap anak, misalnya karena anak telah mengecewakan si pendidik, misalnya guru merasa dilecehkan martabatnya.
b.      Teori Ganti Rugi
              Teori diberikan kepada anak karena ada kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatannya, misalnya anak bermain-main di dalam kelas sehingga vas bunga yang berada di meja guru jatuh dan pecah. Guru memberikan hukuman kepada anak yang bermain sehingga vas bunga pecah dengan mengharuskan mengganti vas bunga tersebut dengan menyerahkan uang seharga vas bunga tersebut.
c.       Teori Perbaikan
              Hukuman diberikan agar anak dapat memperbaiki dan tidak mengulangi kesalahannya. Alat pendidikan yang dapat dipergunakan misalnya, dengan memberi teguran, menasihati, memberikan pengertian, sehingga anak sadar akan kesalahannya daan tidak akan mengulanginya.
d.      Teori Menakut-nakuti
Teori ini diberikan agar anak didik merasa takut untuk mengulangi perbuatannya, kesalahannya, sehingga ia tidak akan melakukan perbuatan tersebut dan akan meninggalkannya. Cara menakut-nakuti  biasanya dengan ancaman, dan ancaman ini oleh anak mungkin dapat dianggap sebagai hukuman karena bisa menimbulkan penderitaan.
e.       Teori Menjerakan
              Teori ini dilaksanakan dengan tujuan agar anak setelah menjalani hukuman merasa jera terhadap hukuman yang ditimpakan kepadanya, sehingga ia tidak akan melakukan kembali perbuatannya atau mengulangi kesalahan yang sama yang telah dilakukannya.
              Demikian berbagai teori hukuman yang mungkin dapat dijadikan pertimbangan bagi para pendidik dalam mendidik anak didiknya. Teori balas dendam seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang pendidik, karena lebih mementingkan harga diri pendidik dan menunjukkan ketidakmatangan emosi pendidik. Teori perbaikan mungkin yang lebih baik, karena dilakukan melalui tahapan-tahapan seperti peringatan, teguran, nasihat, dan sebagainya.
 


No comments:

Post a Comment

Semata Wayang

SISTEM PEMBELAJARAN

SISTEM PEMBELAJARAN A.     Pengertian dan Kegunaan Sistem Sistem adalah satu kesatuan komponen yang satu sama lain saling berkaitan dan...